Sejarah Keraton Solo Mencatat bahwa Sunan Pakubuana III dan Pangeran Mangkubumi adalah pihak-pihak yang bersengketa di Kesultanan Mataram yang membentuk sebuah perjanjian dengan VOC atau Pemerintah Hindu Belanda, pada 13 Februari 1755 yang dimana isi perjanjiannya menyepakati bahwa Kesultanan Mataram, dibagi menjadi dua wilayah kesultanan yaitu Yogyakarta dan Surakarta.
Perjanjian itu di namakan dengan nama Perjanjian Giyanti. Dari hasil perjanjian Giyanti itu lahirlah sebuah kerajaan di Jawa Tengah yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Umumnya Kasunanan Surakarta tidak dianggap sebagai pengganti Kesultannan Mataram, walaupun rajanya masih ada keturunan Raja Mataram, melainkan sebuah kerajaan tersendiri.
Setiap Raja Kasunanan Surakarta yang memiliki gelar Sunan (begitu juga raja Kesultanan Yogyakarta yang memiliki gelar Sultan) selalu menandatangani kontrak politik dengan Pemerintah Hindia Belanda atau VOC.
Kasunanan Surakarta Hadiningrat
Pemberontakan Tarunajaya pada tahun 1677, meruntuhkan Kesultanan Mataram dan Sunan Amral memindahkan ibukotanya di Kartasura. Orang-orang Tionghoa yang mendapatkan dukungan dari orang-orang Jawa anti VOC menyerang Keraton Mataram yang pada masa itu dipimpin oleh Pakubuana II tahun 1742.
Kerajaan Mataram yang terletak di Kartosura itu mengalami keruntuhannya, dan beberapa tahun kemudian, akhirnya Kota kartosura berhasil kembali direbut berkat bantuan dari Adipati Cakraningrat IV sekutu VOC yang menguasai Madura Barat. Namun Kerajaan mataram sudah dalam keadaan rusak parah.
Pakubuana II yang menyingkir ke wilayah Ponorogo, memutuskan untuk membangun sebuah istana baru di Desa Sala, sebagai ibukota Kerajaan Mataram yang baru. Sunan Pakubuwana II memerintahkan Tumenggung Mangkuyudha bersama tumenggung Hongowongso, juga komandan pasukan Belanda , J.A.B. van Hohendorff, untuk mencari lokasi keraton yang baru.
Pada tahun 1745 dibangunlah kerton baru 20 Km ke arah tenggara dari Kartosuro, tepatnya di Desa Sala di tepi Bengawan Solo. Pakubuwono membeli tanah seharga selaksa keping emas, guna membangun keraton.
Pusat pemerintahan baru ini di beri nama “Surakarta” diberikan sebagai nama “Wisuda”. menurut catatan, pembangunan Keraton ini menggunakan bahan kayu jati dari hutan didekat Wonogiri kawasan Alas Kethu dan kayunya dihanyutkan melalui jalur air Bengawan Solo. Tanggal 17 Februari 1745, dengan secara resmi keraton mulai ditempati.
Dengan adanya Perjanjian Giyanti pada tanggal 13 Februari 1755, menyebabkan pemerintahan Kasunanan Surakarta berpusat di Surakarta, yang dipimpin oleh Pakubuwana III. sedangkan pemerintahan Kasultanan Yogyakarta berpusat di Yogyakarta yang dipimpin oleh Sultan Hamengkubuwana I.
Kota dan Keraton Yogyakarta mulai dibangun pada awal 1755, dengan desain tata kota yang sama dengan Surakarta yang lebih dahulu dibangun. Dengan diberikannya daerah sebelah utara keraton kepada pihak Mangkunagara I (Pangeran sambernyawa), pada perjanjian Salatiga 1757 memperkecil wilayah Kasunanan.
Adik Pakubuwana II tahun 1746 yaitu pangeran mangkubumi, meninggalkan keraton dan bergabung dengan Raden Mas Said memberontak besar-besaran terhadap Kerajaan Mataram yang berpusat di Surakarta sebagai ibukota pemerintahan.
Di waktu ramainya peperangan, pada tahun 1748 Pakubuana II meninggal karena sakit yang dia derita. namun sebelum meninggalnya ia sempat menyerahkan kedaulatan kekuasaannya kepada VOC, yang dimana BaronVan Hohendorff sebagai perwakilannya. Sejak saat itu, VOC lah yang dianggap mempunyai kewenangan melantik raja-raja keturunan Mataram.
Perjanjian Giyanti dan Salatiga Dalam Sejarah Keraton SoloKerajaan Mataram yang terletak di Kartosura itu mengalami keruntuhannya, dan beberapa tahun kemudian, akhirnya Kota kartosura berhasil kembali direbut berkat bantuan dari Adipati Cakraningrat IV sekutu VOC yang menguasai Madura Barat. Namun Kerajaan mataram sudah dalam keadaan rusak parah.
Pakubuana II yang menyingkir ke wilayah Ponorogo, memutuskan untuk membangun sebuah istana baru di Desa Sala, sebagai ibukota Kerajaan Mataram yang baru. Sunan Pakubuwana II memerintahkan Tumenggung Mangkuyudha bersama tumenggung Hongowongso, juga komandan pasukan Belanda , J.A.B. van Hohendorff, untuk mencari lokasi keraton yang baru.
Pada tahun 1745 dibangunlah kerton baru 20 Km ke arah tenggara dari Kartosuro, tepatnya di Desa Sala di tepi Bengawan Solo. Pakubuwono membeli tanah seharga selaksa keping emas, guna membangun keraton.
Pusat pemerintahan baru ini di beri nama “Surakarta” diberikan sebagai nama “Wisuda”. menurut catatan, pembangunan Keraton ini menggunakan bahan kayu jati dari hutan didekat Wonogiri kawasan Alas Kethu dan kayunya dihanyutkan melalui jalur air Bengawan Solo. Tanggal 17 Februari 1745, dengan secara resmi keraton mulai ditempati.
Dengan adanya Perjanjian Giyanti pada tanggal 13 Februari 1755, menyebabkan pemerintahan Kasunanan Surakarta berpusat di Surakarta, yang dipimpin oleh Pakubuwana III. sedangkan pemerintahan Kasultanan Yogyakarta berpusat di Yogyakarta yang dipimpin oleh Sultan Hamengkubuwana I.
Kota dan Keraton Yogyakarta mulai dibangun pada awal 1755, dengan desain tata kota yang sama dengan Surakarta yang lebih dahulu dibangun. Dengan diberikannya daerah sebelah utara keraton kepada pihak Mangkunagara I (Pangeran sambernyawa), pada perjanjian Salatiga 1757 memperkecil wilayah Kasunanan.
Adik Pakubuwana II tahun 1746 yaitu pangeran mangkubumi, meninggalkan keraton dan bergabung dengan Raden Mas Said memberontak besar-besaran terhadap Kerajaan Mataram yang berpusat di Surakarta sebagai ibukota pemerintahan.
Di waktu ramainya peperangan, pada tahun 1748 Pakubuana II meninggal karena sakit yang dia derita. namun sebelum meninggalnya ia sempat menyerahkan kedaulatan kekuasaannya kepada VOC, yang dimana BaronVan Hohendorff sebagai perwakilannya. Sejak saat itu, VOC lah yang dianggap mempunyai kewenangan melantik raja-raja keturunan Mataram.
VOC yang mengalami kebangkrutan berhasil membujuk Pangeran Mangkubumi untuk berdamai dan bersatu melawan pemberontak Raden Mas Said yang enggan untuk berdamai pada tanggal 13 Februari 1755. awalnya Pangeran Mangkubumi bersekutu dengan Raden Mas Said.
Pda perjanjian Giyanti yang ditandatangani oleh Mangkibumi, Pakubuwana III dan Belanda, melahirkan dua kerajaan baru yaitu Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Raja Kasunanan Surakarta sebagai penguasa di separuh wilayah Mataram, mengambil gelar Sunan Pakubuwana dan Pangeran Mangkubumi mengambil gelar Sultan Hamengkubuwono. Waktu demi waktu, negeri Mataram yang dpimpin oleh pakubuwana lebih dikenal dengan nama Kasunanan Surakarta, sedangkan negri Mataram yang dipimpin oleh Hamengkubuwono kemudian lebih dikenal dengan nama Kasultanan Yogyakarta.
Perjanjian Salatiga pada tanggal 17 Maret 1757 menyebabkan wilayah Kasunanan Surakarta semakin mengecil, karena diakuinya Raden Mas Said sebagai seorang pangeran merdeka dengan wilayah kekuasaannya yang berstatus kadipaten, yang di sebut dengan jullukan Praja Mangkunegara.
Raden Maas Said sebagai penguasa yang bergelar Adipati Mangkunegara. Seusainya perang Diponegoro pada tahun 1830, wilayah Surakarta berkurang lebih jauh lagi, dimana daerah-daerah mancanegara diserahkan kepada Belanda, sebagai ganti rugi karena biaya peperangan.
Pakubuwana IV
Penerus tahta Kasunanan Surakarta selanjutnya, yakni Sri Susuhunan Pakubuwana IV (1788-1820) adalah sosok raja yang benci terhadap penjajahan dan memiliki keberanian serta penuh cita-cita tinggi. Berbeda dengan Pakubuwana III yang agak patut terhadap VOC.
Pada November 1790 , terjadi insiden pengepungan Keraton Surakarta oleh persekutuan VOC, Mangkunegara I dan Hamengkubuwana I yang disebut dengan Peristiwa Pakepung. Pengepungan ini terjadi karena penyingkiran para pejabat negara yang tidak sepaham dengan Pakubuwana IV yang menganut paham kejawen.
Para pejabat istana yang disingkirkan Pakubuwono IV kemudian meminta bantuan VOC untuk menghadapi Pakubuwana IV. VOC akhirnya bersekutu dengan Mangkunegara I dan Hamengkubuwono I untuk menghadapi Pakubuwana IV. mereka mengepung bersama pada bulan November 1790.
Dari dalam sendiri terdapat para pejabat senior yang tersisih, ikut serta menekan Pakubuwana IV agar para penasehat rohaninya disingkirkan dan pristiwa ini disebut Pristiwa Pakepung. Tanggal 26 November 1790 akhirnya Pakubuwana IV mengaku kalah dengan menyerahkan para penasehatnya yaitu pata haji, untuk dibuang VOC.
Terjadi perundingan bersama pada era pemerintahan Pakubuwana IV, di dalamnya menerangkan bahwa Kesultanan Yogyakarta, Kesunanan Surakarta, setra Praja Mangkunegara meniliki kedaulatan dan kedudukan yang setara sehingga tidak boleh saling menyerang satu sama lain.
Penerus tahta Kasunanan Surakarta selanjutnya, yakni Sri Susuhunan Pakubuwana IV (1788-1820) adalah sosok raja yang benci terhadap penjajahan dan memiliki keberanian serta penuh cita-cita tinggi. Berbeda dengan Pakubuwana III yang agak patut terhadap VOC.
Pada November 1790 , terjadi insiden pengepungan Keraton Surakarta oleh persekutuan VOC, Mangkunegara I dan Hamengkubuwana I yang disebut dengan Peristiwa Pakepung. Pengepungan ini terjadi karena penyingkiran para pejabat negara yang tidak sepaham dengan Pakubuwana IV yang menganut paham kejawen.
Para pejabat istana yang disingkirkan Pakubuwono IV kemudian meminta bantuan VOC untuk menghadapi Pakubuwana IV. VOC akhirnya bersekutu dengan Mangkunegara I dan Hamengkubuwono I untuk menghadapi Pakubuwana IV. mereka mengepung bersama pada bulan November 1790.
Dari dalam sendiri terdapat para pejabat senior yang tersisih, ikut serta menekan Pakubuwana IV agar para penasehat rohaninya disingkirkan dan pristiwa ini disebut Pristiwa Pakepung. Tanggal 26 November 1790 akhirnya Pakubuwana IV mengaku kalah dengan menyerahkan para penasehatnya yaitu pata haji, untuk dibuang VOC.
Terjadi perundingan bersama pada era pemerintahan Pakubuwana IV, di dalamnya menerangkan bahwa Kesultanan Yogyakarta, Kesunanan Surakarta, setra Praja Mangkunegara meniliki kedaulatan dan kedudukan yang setara sehingga tidak boleh saling menyerang satu sama lain.
Pakubuwana V
Sri Susuhan Pakubuwana V adalah pengganti dari Sri Susuhan Pakubuwana IV. Pakubuwana V oleh masyarakat pada saat itu dijuluki sebagai Sunan Ngabehi karena Pakubuwana V termasuk baginda yang sangat kaya, kaya harta maupun kaya kesaktian. Pengganti Pakubuwana V setelah wafat adalah Sri Susuhan Pakubuwana VI.
Sri Susuhan Pakubuwana V adalah pengganti dari Sri Susuhan Pakubuwana IV. Pakubuwana V oleh masyarakat pada saat itu dijuluki sebagai Sunan Ngabehi karena Pakubuwana V termasuk baginda yang sangat kaya, kaya harta maupun kaya kesaktian. Pengganti Pakubuwana V setelah wafat adalah Sri Susuhan Pakubuwana VI.
Pakubuwana VI
Pakubuwana VI adalah salah satu pendukung perjuangan Pangeran Diponegoro, yang sejak tahun 1825 memberontak terhadap pemerintahan Hindia Belanda (VOC) dan Kesultanan Yogyakarta. Penulis naskah-naskah Babad waktu itu sering menutupi pertemuan rahasia antara Pangeran Diponegoro dengan Pakubuwana VI menggunakan simbol-simbol sebagai bahasanya.
Misalnya, dikisahkan Pakubuwana VI pergi untuk bertapa di Hutan krendawahana atau ke Gunung Merbabu. Padahal sebenarnya secara diam-diam ia pergi menemui Pangeran Diponegoro. Pakubuwana VI menjalankan aksi ganda dalam perang melawan Pangeran Diponegoro.
Disamping memberikan dukungan dan bantuan, ia juaga mengirim pasukan untuk berpura-pura membantu pihak Belanda. Pujangga besar Ranggawarsita mengaku bahwa semasa mudanya ia pernah ikut serta dalam pasukan sandiwara tersebut.
Setelah Belanda menangkap Pangeran Diponegoro, tetap saja Belanda menangkap Pakubuwana VI pada tanggal 8 Juni 1830 dan membuangnya ke ke Ambon, dengan alasan bahwa rahasianya sudah terbongkar semua, atas adanya pengakuan dari Mas Pajangswara dan kini ia hidup nyaman di Batavia.
Fitnah yang dimuluskan oleh pihak Belanda ini, kelak berdampak buruk hubungan antara putra Pakubuwana VI, yaitu Ranggawarsita (putra Mas Pajangswara) dengan Pakubuwana IX. Ketika Pakubuwana berangkat ke Ambon, Pakubuwana IX sebdiri masih berada dalam kandungan.
Kemudian tahta Surakarta jatuh kepada paman Pakubuwana VI, yang bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana VII.
Pakubuwana VII
Perang Diponegoro saat itu baru saja berakhir. Apabila dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya, masa pemerintahan Pakubuwana VII relatif damai. Keadaan yang damai itu, di lingkungan keraton menjadikan dorongan tumbuhnya kegiatan sastra secara besar-besaran.
Masa pemerintahan Pakubuwana VII dianggap sebagai puncaknya kejayaan sastra di wilayah kasunanan Surakarta yang dipelopori oleh pujangga besar Ranggawarsita. Setelah Pakubuwaana VII wafat dan tidak memiliki putra mahkota, maka Pakubuwana VII digantikan oleh kakaknya (lain ibu) menjadi menjadi Sri Susuhunan Pakubuwana VIII yang menjadi Kesunanan pada usianya 69 tahun.
Pakubuwana VI adalah salah satu pendukung perjuangan Pangeran Diponegoro, yang sejak tahun 1825 memberontak terhadap pemerintahan Hindia Belanda (VOC) dan Kesultanan Yogyakarta. Penulis naskah-naskah Babad waktu itu sering menutupi pertemuan rahasia antara Pangeran Diponegoro dengan Pakubuwana VI menggunakan simbol-simbol sebagai bahasanya.
Misalnya, dikisahkan Pakubuwana VI pergi untuk bertapa di Hutan krendawahana atau ke Gunung Merbabu. Padahal sebenarnya secara diam-diam ia pergi menemui Pangeran Diponegoro. Pakubuwana VI menjalankan aksi ganda dalam perang melawan Pangeran Diponegoro.
Disamping memberikan dukungan dan bantuan, ia juaga mengirim pasukan untuk berpura-pura membantu pihak Belanda. Pujangga besar Ranggawarsita mengaku bahwa semasa mudanya ia pernah ikut serta dalam pasukan sandiwara tersebut.
Setelah Belanda menangkap Pangeran Diponegoro, tetap saja Belanda menangkap Pakubuwana VI pada tanggal 8 Juni 1830 dan membuangnya ke ke Ambon, dengan alasan bahwa rahasianya sudah terbongkar semua, atas adanya pengakuan dari Mas Pajangswara dan kini ia hidup nyaman di Batavia.
Fitnah yang dimuluskan oleh pihak Belanda ini, kelak berdampak buruk hubungan antara putra Pakubuwana VI, yaitu Ranggawarsita (putra Mas Pajangswara) dengan Pakubuwana IX. Ketika Pakubuwana berangkat ke Ambon, Pakubuwana IX sebdiri masih berada dalam kandungan.
Kemudian tahta Surakarta jatuh kepada paman Pakubuwana VI, yang bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana VII.
Pakubuwana VII
Perang Diponegoro saat itu baru saja berakhir. Apabila dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya, masa pemerintahan Pakubuwana VII relatif damai. Keadaan yang damai itu, di lingkungan keraton menjadikan dorongan tumbuhnya kegiatan sastra secara besar-besaran.
Masa pemerintahan Pakubuwana VII dianggap sebagai puncaknya kejayaan sastra di wilayah kasunanan Surakarta yang dipelopori oleh pujangga besar Ranggawarsita. Setelah Pakubuwaana VII wafat dan tidak memiliki putra mahkota, maka Pakubuwana VII digantikan oleh kakaknya (lain ibu) menjadi menjadi Sri Susuhunan Pakubuwana VIII yang menjadi Kesunanan pada usianya 69 tahun.
Pakubuwana VIII dan IX
Hingga akhir hayatnya Pakubuwana VIII hanya menjabat selama tiga tahun. Pakubuwana VIII di gantikan dengan putra Pakubuwana VI yang akan menjabat sebagai raja Surakarta selanjutnya, yang bergelar sebagai Sri Susuhan Pakubuwana IX.
Karena fitnah yang dibuat oleh pihak Belanda bahwa Mas Pajangswara (ayah Ranggawarsita) yang dulu menjabat jadi juru tulis keraton, telah membongkar rahasia persekutuan anatara Pangeran Diponegoro dan Pakubuwana VI yang mengakibatkan Pakubuwana VI dibuang ke Ambon, menjadikan hubungan Pakubuwana XI dengan Ranggaswarsita kurang harmonis.
Hal itu juga yang membuat PAkubuwana IX benci terhadap keluarga Mas Pajangswara. Padahal Mas Pajangswara ditemukan tewas mengenaskan karena siksaan yang ia terima di dalam penjara oleh Belanda.
Ranggaswati sendiri berusaha untuk memperbaiki hubungannya dengan Pakubuwana IX melalui persembahan naskah Serat Compotet. Pada tanggal 16 Maret 1893, Pakubuwana IX meninggal dan pemerintahannya pun berakhir, lantas tahta kerajaan digantikan oleh putranya.
Hingga akhir hayatnya Pakubuwana VIII hanya menjabat selama tiga tahun. Pakubuwana VIII di gantikan dengan putra Pakubuwana VI yang akan menjabat sebagai raja Surakarta selanjutnya, yang bergelar sebagai Sri Susuhan Pakubuwana IX.
Karena fitnah yang dibuat oleh pihak Belanda bahwa Mas Pajangswara (ayah Ranggawarsita) yang dulu menjabat jadi juru tulis keraton, telah membongkar rahasia persekutuan anatara Pangeran Diponegoro dan Pakubuwana VI yang mengakibatkan Pakubuwana VI dibuang ke Ambon, menjadikan hubungan Pakubuwana XI dengan Ranggaswarsita kurang harmonis.
Hal itu juga yang membuat PAkubuwana IX benci terhadap keluarga Mas Pajangswara. Padahal Mas Pajangswara ditemukan tewas mengenaskan karena siksaan yang ia terima di dalam penjara oleh Belanda.
Ranggaswati sendiri berusaha untuk memperbaiki hubungannya dengan Pakubuwana IX melalui persembahan naskah Serat Compotet. Pada tanggal 16 Maret 1893, Pakubuwana IX meninggal dan pemerintahannya pun berakhir, lantas tahta kerajaan digantikan oleh putranya.
Pakubuwana X
Suasana plitik kerajaan yang stabil dan kemegahan tradisi sebagai tanda masa kejayaan pemerintahan Pakubuwana X.
Sejalan dengan perubahan plitik di Hindia Belanda, masa pemerintahan Kasunanan Surakarta yang di pimpin oleh Pakubuwana X mengalami transisi, dari kerajaan tradisional menuju kerajaan era modern dengan masa pemerintahan yang cukup panjang.
Pakubuwana X memberikan kebebasan dalam penerbitan media masa dan kebebasan berorganisasi, meskipun pada waktu itu sedang berada dalam tekanan politik pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Pakubuwana X juga mendukung pendirian salah satu organisasi pergerakan nasional yang pertama di Indonesia yaitu organisasi Sarekat Islam. Pada masa pemerintahannya juga mengadakan kongres Bahasa Indonesia I di Surakarta (1938)
Pada masa pemerintahan Pakubuwana X juga banyak membangun infrastruktur modern untuk Kota Surakarta seperti bangunan Pasar Gede, Stasiun Solo-Kota (Sangkrah), Stasiun Solo Jabres, Stasiun Sriwedari, Jembatan Jurug yang melintasi Bengawan Solo di timur kota, kebun binatang (“Taman Satwataru”) Jurug, Taman Balekambang, rumah pemotongan hewan ternak di Jagalan, gapura-gapura di batas Kota Surakarta, rumah perabuan (pembakaran jenazah) bagi warga Tionghoa, dan rumah singgah bagi tunawisma.
Pada tanggal 1 Februari 1939 Pakubuwana X meninggal dunia, ia juga di juluki sebagai raja besar Surakarta atau Sunan Panutup yang terakhir oleh rakyatnya. Kemudian tahtanya diganti oleh putranya yang bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana XI.
Suasana plitik kerajaan yang stabil dan kemegahan tradisi sebagai tanda masa kejayaan pemerintahan Pakubuwana X.
Sejalan dengan perubahan plitik di Hindia Belanda, masa pemerintahan Kasunanan Surakarta yang di pimpin oleh Pakubuwana X mengalami transisi, dari kerajaan tradisional menuju kerajaan era modern dengan masa pemerintahan yang cukup panjang.
Pakubuwana X memberikan kebebasan dalam penerbitan media masa dan kebebasan berorganisasi, meskipun pada waktu itu sedang berada dalam tekanan politik pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Pakubuwana X juga mendukung pendirian salah satu organisasi pergerakan nasional yang pertama di Indonesia yaitu organisasi Sarekat Islam. Pada masa pemerintahannya juga mengadakan kongres Bahasa Indonesia I di Surakarta (1938)
Pada masa pemerintahan Pakubuwana X juga banyak membangun infrastruktur modern untuk Kota Surakarta seperti bangunan Pasar Gede, Stasiun Solo-Kota (Sangkrah), Stasiun Solo Jabres, Stasiun Sriwedari, Jembatan Jurug yang melintasi Bengawan Solo di timur kota, kebun binatang (“Taman Satwataru”) Jurug, Taman Balekambang, rumah pemotongan hewan ternak di Jagalan, gapura-gapura di batas Kota Surakarta, rumah perabuan (pembakaran jenazah) bagi warga Tionghoa, dan rumah singgah bagi tunawisma.
Pada tanggal 1 Februari 1939 Pakubuwana X meninggal dunia, ia juga di juluki sebagai raja besar Surakarta atau Sunan Panutup yang terakhir oleh rakyatnya. Kemudian tahtanya diganti oleh putranya yang bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana XI.
Pakubuwana XI
Terjadinya pemerintahan Pakubuwana XI pada masa sulit, pasalnya ia memerintah bertepatan dengan terjadinya perang dunia kedua. Sejak tahun 1942 ia juga mengalami pergantian pemerintah penjajahan dari kekuasaan Belanda kepada Jepang.
Terjadinya pemerintahan Pakubuwana XI pada masa sulit, pasalnya ia memerintah bertepatan dengan terjadinya perang dunia kedua. Sejak tahun 1942 ia juga mengalami pergantian pemerintah penjajahan dari kekuasaan Belanda kepada Jepang.
Pakubuwana XII Masa Perjuangan Kemerdekaan
Awal Pakubuwana XII memerintah hampir bersamaan dengan lahirnya Negri Kesatuan Republik Indonesia. Praja Mangkunegara dan Kasunanan Surakarta sempat menjadi Daerah Istimewa di awal masa kemerdekaan (1945-1946).
Akan tetapi karena agitasi politik dan kerusuhan saat itu, maka pada tanggal 16 Juni 1946 oleh pemerintahan Indonesia status Daerah Istimewa diubah menjadi Karesidenan, menyatu di dalam wilayah NKRI (Negri Kesatuan Republik Indonesia).
Penetapan status Daerah Istimewa ini diberikan Presiden Soekarno sebagai balas budi atas pengakuan raja-raja Praja mangkunagara dan Kasunanan Surakarta yang menyatakan wilayah mereka adalah bagian dari Negara Kesatuan Republk Indonesia pada tanggal18 Agustus 1945
Pada tanggal 1 September 1945, Praja mangkunagara dan Kasunanan Surakarta mengirimkan maklumat kepada Presiden Soekarno mengenai pernyataan dari KGPAA Mangkunagara VIII dan Susuhunan Pakubuwana XII yang menyatakan bahwasanya Negri Surakarta Hadiningrat yang sebuah kepemimpinannya menganut kerajaan adalah Daerah Istimewa dari NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), dimana hubungan yang bersifat langsung antara Negeri Surakarta dengan pemerintah pusat Negri Kesatuan Republik Indonesia.
Atas dasar semua itulah, Presiden Soekarno memberikan pernyataan resmi terhadap Susuhunan Pakubuwana XII dan KGPAA Mangkunegara VIII dengan diserahkannya piagam kedudukan resmi.
credit : April 10, 2017 Oleh ibnu asmara
No comments:
Post a Comment