15 January 2022

Hukum Mempelajari Bahasa Arab

a. Kewajiban Setiap Muslim Hukum mempelajari bahasa Arab ada dua, fardhu ‘ain dan fardhu kifayah. Syaikhul Islam (w. 728 H) berkata: إِنَّ نَفْسَ اللُّغَةِ الْعَرَبِيَّةِ مِنَ الدِّينِ، وَمَعْرِفَتُهَا فَرْضٌ وَاجِبٌ، فَإِنَّ فَهْمَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ فَرْضٌ وَلَا يُفْهَمُ إِلاَّ بِفَهْمِ اللُّغَةِ الْعَرَبِيَّةِ، وَمَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ. ثُمَّ مِنْهَا مَا هُوَ وَاجِبٌ عَلَى الْأَعْيَانِ وَمِنْهَا مَا هُوَ وَاجِبٌ عَلَى الْكِفَايَةِ “Bahasa Arab itu bagian dari agama. Mempelajarinya adalah sangat diwajibkan, karena memahami al-Kitab dan as-Sunnah adalah wajib, dan keduanya tidak bisa dipahami kecuali dengan bahasa Arab. Kewajiban yang tidak bisa sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya wajib. Kemudian, di antara bahasa Arab itu ada yang fardhu ‘ain dan ada yang fardhu kifayah.”[12] Wajib bagi setiap Muslim untuk mempelajari bagian tertentu dari bahasa Arab sekedarnya untuk membantu pelaksanakan ibadah-ibadah yang Allah wajibkan kepadanya sehingga terhindar dari kekeliruan. Inilah fardhu ‘ain yang dimaksud. Imam asy-Syafi’i (w. 204 H) berkata: فَعَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ أَنْ يَتَعَلَّمَ مِنْ لِسَانِ الْعَرَبِ مَا بَلَغَهُ جُهْدُهُ حَتَّى يَشْهَدَ بِهِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللّٰهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ وَيَتْلُوْا بِهِ كِتَابَ اللّٰهِ وَيَنْطِقَ بِالذِّكْرِ فِيمَا افْتُرِضَ عَلَيهِ مِنَ التَّكْبِيرِ وَأُمِرَ بِهِ مِنَ التَّسْبِيحِ وَالتَّشَهُّدِ وَغَيْرِ ذَلِكَ، وَمَا ازْدَادَ مِنَ الْعِلْمِ بِاللِّسَانِ الَّذِي جَعَلَ اللّٰهُ لِسَانَ مَنْ خَتَمَ بِهِ نُبُوَّتَهُ وَأَنْزَلَ بِهِ آخِرَ كُتُبِهِ كَانَ خَيْراً لَهُ “Wajib bagi setiap Muslim belajar bahasa Arab dengan sungguh-sungguh agar benar dalam bersyahadat lâilaha illallâh dan muhammadun abduh wa rasûluh, membaca Kitabullah, melafazhkan dzikir yang diwajibkan atasnya seperti takbir, tasbih, tasyahhud, dan lain-lain. Jika dia berkenan lebih mendalami bahasa yang dijadikan Allah sebagai bahasa penutup para nabi-Nya dan bahasa kitab terakhir yang diturunkan-Nya ini, maka itu lebih baik baginya.”[13] Pendapat ini dikuatkan dengan sebuah riwayat bahwa Umar radhiyallahu ‘anhu memerintahkan Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu dan kaumnya untuk mempelajari bahasa Arab, sementara hukum asal perintah adalah wajib. Umar bin Zaid berkata: كَتَبَ عُمَرُ إلَى أَبِي مُوسَى: أَمَّا بَعْدُ فَتَفَقَّهُوا فِي السُّنَّةِ وَتَفَقَّهُوا فِي الْعَرَبِيَّةِ وَأَعْرِبُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ عَرَبِيٌّ “Umar menulis surat kepada Abu Musa, ‘Amma ba’du: pelajarilah as-Sunnah, pelajarilah bahasa Arab, pelajarilah i’rab al-Qur`an karena ia berbahasa Arab.’”[14] Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu berkata: تَعَلَّمُوا الْعَرَبِيَّةَ كَمَا تَعَلَّمُونَ حِفْظَ الْقُرْآنِ “Pelajarilah bahasa Arab seperti kalian mempelajari hafalan al-Qur`an.”[15] Diriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: «أَعْرِبُوا الْقُرْآنَ وَالْتَمِسُوا غَرَائِبَهُ» “I’rablah al-Qur`an dan carilah kosa-kata asingnya.”[16] Diriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: «تَعَلَّمُوا مِنَ الْعَرَبِيَّةِ مَا تُعْرِبُونَ بِهِ كِتَابَ اللّٰهِ» “Pelajarilah bahasa Arab yang kalian gunakan untuk mengi’rab al-Qur`an.”[17] Hukum mempelajari bahasa Arab yang kedua adalah fardhu kifayah. Jika telah ada sekelompok kaum Muslimin yang mempelajarinya maka telah mencukupi. Bagian bahasa Arab yang fardhu kifayah ini adalah yang bersifat pendalaman dan pelengkap seperti fan balaghah, insyiqaq, atau bagian bahasa Arab lainnya yang bersifat pendalaman. Hukum ini lebih ditekankan lagi bagi penuntut ilmu, ahli ilmu, dai, dan pengajar. Para ulama telah sepakat bahwa di antara syarat yang harus dipenuhi bagi seorang mujtahid atau mufti adalah memahami bahasa Arab dan ilmu-ilmu yang terkait dengannya seperti nahwu, sharaf, balaghah, dan lain-lain. Allahu a’lam. b. Mendahulukan Bahasa Arab atas Selainnya Sepatutnya bagi penuntut ilmu untuk mendahulukan bahasa Arab atas bahasa lainnya dan ilmu lainnya. Jalan ini adalah jalan yang ditempuh oleh orang-orang terdahulu yang sukses dalam mendalami bidang ilmu Islam. Imam al-Baihaqi (w. 458 H) berkata: وَيَنْبَغِي لِمَنْ أَرَادَ طَلَبَ الْعِلْمِ، وَلَمْ يَكُنْ مِنْ أَهْلِ لِسَانِ الْعَرَبِ أَنْ يَتَعَلَّمَ اللِّسَانَ أَوَّلًا وَيَتَدَرَّبَ فِيهِ، ثُمَّ يَطْلُبَ عِلْمَ الْقُرْآنِ، ولَنْ يصِحَّ لَهُ مَعَانِي الْقُرْآنِ إِلَّا بِالْآثَارِ وَالسُّنَنِ، وَلَا مَعَانِي السُّنَنِ وَالْآثَارِ إِلَّا بِأَخْبَارِ الصَّحَابَةِ، وَلَا أَخْبَارُ الصَّحَابَةِ إِلَّا بِمَا جَاءَ عَنِ التَّابِعِينَ “Sepatutnya bagi seseorang yang ingin menuntut ilmu sementara dia bukan ahli berbahasa Arab untuk pertama kalinya dengan mempelajari bahasa Arab dan mempraktikannya, baru kemudian mempelajari ilmu al-Qur`an. Makna-makna al-Qur`an tidak akan benar baginya kecuali dengan atsar-atsar dan sunnah-sunnah, dan tidak akan benar makna-makna sunnah dan atsar kecuali dengan penjelasan para shahabat, dan tidak ada penjelasan para shahabat kecuali dengan apa yang datang dari para tabi’in.”[18] Waki’ bin Jarrah (w. 197 H) guru besar Imam asy-Syafi’i berkata: أَتَيْتُ الْأَعْمَشَ أَسْمَعُ مِنْهُ الْحَدِيْثَ وَكُنْتُ رُبَمَا لَحَنْتُ فَقَالَ لِي: يَا أَبَا سُفْيَانَ! تَرَكْتَ مَا هُوَ أَوْلَى بِكَ مِنَ الْحَدِيْثِ. فَقُلْتُ: يَا أَبَا مُحَمَّدٍ! وَأَيُّ شَيْءٍ أَوْلَى مِنَ الْحَدِيْثِ؟ فَقَالَ: النَّحْوُ. فَأَمْلَى عَلَيَّ الْأَعْمَشُ النَّحْوَ ثُمَّ أَمْلَى عَلَيَّ الْحَدِيْثَ “Aku mendatangi al-A’masy untuk mendengarkan hadits darinya dan terkadang aku mengalami lahn, lalu dia berkata kepadaku, ‘Wahai Abu Sufyan! Kamu telah meninggalkan sesuatu yang lebih utama bagimu daripada hadits.’ Aku bertanya, ‘Wahai Abu Muhammad! Apa itu yang lebih utama daripada hadits?’ Dia menjawab, ‘Nahwu.’ Lalu al-A’masy mengajariku nahwu baru kemudian menyampaikan hadits kepadaku.”[19] Syu’bah berkata: مَنْ طَلَبَ الْحَدِيْثَ فَلَمْ يُبْصِرِ الْعَرَبِيَّةَ فَمَثَلُهُ مَثَلُ رَجُلٍ عَلَيْهِ بُرْنُسُ وَلَيْسَ لَهُ رَأْسٌ “Barangsiapa mencari hadits tetapi tidak memahami bahasa Arab, maka perumpamaannya seperti seseorang yang memakai burnus (sejenis mantel) tetapi tidak memiliki kepala.”[20] c. Hukum Mempelajari Selain Bahasa Arab Hukum mempelajari bahasa lain selain bahasa Arab hukumnya mubah, bahkan menjadi wajib untuk urusan dakwah ilallah. Dalil kebolehannya adalah sebuah riwayat bahwa Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu berkata: أَمَرَنِي رَسُولُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَتَعَلَّمَ لَهُ كَلِمَاتٍ مِنْ كِتَابِ يَهُودَ قَالَ: «إِنِّي واللّٰهِ مَا آمَنُ يَهُودَ عَلَى كِتَابٍ» قَالَ: فَمَا مَرَّ بِي نِصْفُ شَهْرٍ حَتَّى تَعَلَّمْتُهُ لَهُ. قَالَ: فَلَمَّا تَعَلَّمْتُهُ كَانَ إِذَا كَتَبَ إِلَى يَهُودَ كَتَبْتُ إِلَيْهِمْ، وَإِذَا كَتَبُوا إِلَيْهِ قَرَأْتُ لَهُ كِتَابَهُمْ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruhku untuk mempelajari tulisan-tulisan surat Yahudi. Beliau bersabda, ‘Demi Allah aku tidak akan percaya dengan surat Yahudi.’ Aku pun mempelajarinya dan tidaklah berlalu bagiku kecuali setengah bulan untuk menguasainya. Setelah aku mahir, bila beliau ingin menyurati Yahudi aku yang menulis dan bila beliau disurati aku yang membacakannya untuk beliau surat mereka.”[21] Dari jalan lain, Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu berkata: أَمَرَنِي رَسُولُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَتَعَلَّمَ السُّرْيَانِيَّةَ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruhku untuk mempelajari bahasa Suryani.”[22] Fadhilatusy Syaikh al-Utsaimin (w. 1421 H) pernah ditanya tentang hukum mempelajari bahasa Inggris pada waktu sekarang? Beliau menjawab, “Mempelajarinya hanyalah sebagai wasilah (pelantara/alat), yaitu saat engkau memerlukannya sebagai alat untuk mengajak manusia kepada Allah. Namun, terkadang mempelajarinya menjadi wajib. Hanya saja, jika engkau tidak memerlukannya maka janganlah engkau menyibukkan waktumu untuk itu, tetapi sibukkanlah dengan pelajaran yang lebih penting dan lebih bermanfaat. Kebutuhan manusia itu berbeda-beda dalam mempelajari bahasa Inggris. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk mempelajari bahasa Yahudi. Maka, mempelajari bahasa Inggris hanyalah sebagai salah satu alat. Jika engkau memerlukannya maka boleh mempelajarinya, jika tidak perlu maka janganlah engkau sia-siakan waktumu untuk itu.”[23] Beliau juga pernah ditanya, “Bagaimana pendapat Anda tentang seorang penuntut ilmu mempelajari bahasa Inggris terutama untuk berdakwah mengajak manusia kepada Allah?” Beliau menjawab, “Kita melihat bahwa mempelajari bahasa Inggris hanyalah wasilah, tanpa diragukan. Bisa menjadi wasilah (pelantara) yang baik jika hal itu untuk tujuan yang baik dan bisa juga jelek jika tujuannya jelek. Akan tetapi sesuatu yang wajib dijauhi adalah menjadikannya sebagai pengganti dari bahasa Arab, maka ini tidak boleh. Kita telah mendengar sebagian orang bodoh berbicara dengan bahasa Inggris sebagai pengganti bahasa Arab sehingga sebagian orang bodoh lagi rugi itu menjadikan mereka sebagai ekor bagi orang lain, mereka mengajari anak-anak mereka cara penghormatan orang-orang kafir. Mereka mengajarkan ucapan bye-bye ketika berpisah, dan yang serupa dengannya. Karena mengganti bahasa Arab yang merupakan bahasa al-Qur`an sebagai bahasa yang paling mulia adalah haram. Dan telah shahih dari kalangan Salaf tentang larangan berbicara dalam bahasa asing (selain Arab) padahal yang dilarang bukan orang Arab. Adapun menggunakan bahasa Inggris sebagai wasilah bagi dakwah, maka tidak diragukan lagi bahwa hal itu terkadang menjadi wajib. Saya tidak mempelajarinya dan saya berandai-andai dulu mempelajarinya karena saya temukan dalam beberapa kesempatan bahwa saya amat membutuhkannya karena penerjemah tidak mungkin mengungkapkan apa yang ada di dalam hati saya secara sempurna. Saya akan ceritakan sebuah kisah kepada kalian yang terjadi di masjid bandara di Jeddah beserta beberapa tokoh Islam. Kami berceramah setelah shalat Shubuh tentang madzhab Tijani dan itu adalah madzhab bathil dan kufur dalam Islam. Saya berbicara dengan apa yang saya ketahui tentang madzhab itu. Lalu datanglah seseorang dan berkata, ‘Saya ingin Anda mengizinkan saya untuk menerjemahkan dengan bahasa Husa.’ Lalu saya berkata, ‘Tidak apa-apa.’ Lalu dia menerjemahkannya. Lalu masuklah seorang laki-laki dengan tergesa-gesa lalu berkata, ‘Orang yang menerjemahkan ucapan Anda tadi memuji madzhab Tijaniyah!’ Saya pun tercengang dan bekata, ‘Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râjiûn, seandainya saya mengetahui bahasa ini maka saya tidak membutuhkan orang-orang penipu ini.’ Kesimpulannya, bahwa mengetahui bahasa lawan bicara --tanpa diragukan-- sangatlah penting dalam menyampaikan informasi. Allah ta’ala berfirman: ﮋ ﮖ ﮗ ﮘ ﮙ ﮚ ﮛ ﮜ ﮝ ﮞﮟ ﮊ ‘Dan tidaklah Kami mengutus seorang rasul pun melainkan dengan bahasa kaumnya supaya dia menjelaskan kepada mereka.’”[24] [25] d. Menyesal Karena Enggan Belajar Bahasa Arab Penyesalan selalu datang belakangan. Ada yang menyesal disebabkan keengganan dan sibuk dengan urusan dunianya. Ada pula yang menyesal disebabkan dulu belum memaksimalkan waktunya, disibukkan dengan aktifitas dakwah, atau keluarga. Orang yang berbahagia adalah siapa yang Allah selamatkan dari dua jenis musibah ini. Saat uban mulai tumbuh, saat kesibukan merangkul dari setiap penjuru, saat tertimpa musibah dan persoalan yang buntu, saat memutuskan menjadi ahli ilmu, maka saat itulah dia berteriak pilu karena tidak mampu menangis saat membaca al-Qur`an yang berbahasa Arab. Dia kesulitan mentadaburi lafazh-lafazhnya dan uslub-uslubnya. Dia terhalangi dari menikmati keindahan sastranya. “Andai dulu aku meluangkan waktu mempelajari bahasa Arab meski sepenggal waktu,” gumamnya. Semoga ini tidak terucap nanti. Atha` bin Abi Rabbah[26] rahimahullah (w. 114 H) berkata: وَدِدْتُ أَنِّي أُحْسِنُ العَرَبِيَّةَ “Aku sangat ingin untuk memperbagus bahasa Arabku.”[27]

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...