Syekh Mushthafa Abd Al-Raziq (w. 1366/1947) menilai bahwa “persaingan” kedua aliran pemikiran teologis ini menandai kebangkitan wacana teologi Islam kontemporer.1 Persoalannya: sering kali perdebatan yang terjadi menyebabkan salah satu pihak menyesatkan kawan bicaranya tanpa terlebih dahulu menimbang persoalan yang diperdebatkan, apakah hal itu termasuk di antara hal yang tidak boleh diperselisihkan atau sebaliknya? Dalam konteks inilah, diskusi mengenai konsep tauhid dalam pandangan Al-Asy’ari dan Ibn Taymiyah menemukan relevansinya. Konsep ini dipilih mengingat tauhid ini adalah persoalan mendasar dalam Islam. Hal lain yang menjadi pertimbangan adalah karena kekuranghati-hatian dalam menilai, sering kali hal ini menjadi alat pengkafiran terhadap kelompok yang lain.
Tulisan ini memaparkan cara Imam Al-Asy’ari dan Ibn Taymiyyah merumuskan konsep tauhid serta menguraikan persamaan dan perbedaan di antara keduanya. Catatan penting dari perbandingan ini adalah perbedaan di antara kedua rumusan tersebut tidak sampai mengeluarkan salah satunya (serta pengikutnya) dari Ahlussunnah. Oleh karena itu, sebelum pembahasan konsep tauhid keduanya dipaparkan, terlebih dahulu akan dibentangkan pengertian ahlussunnah dan tolak ukurnya. Setelah itu, dipaparkan, secara terpisah, konsep tauhid menurut Imam Al-Asy’ari dan Ibn Taymiyyah.
Pembahasan makalah ini diakhiri dengan beberapa catatan mengenai perbandingan sekilas konsep tauhid menurut keduanya dan sikap yang seharusnya diambil oleh umat Islam sekarang. Pandangan keduanya sebisa mungkin dipaparkan menggunakan kutipan dari sumber utama untuk meminimalkan penafsiran penulis. Khusus untuk pandangan Imam Al-Asy’ari, gagasan dari para pengikutnya juga akan dikutip dalam tema-tema yang tidak secara khusus dibicarakan oleh beliau. Pembahasan mengenai gagasan Ibn Taymiyyah hampir seluruhnya didasarkan atas karya beliau sendiri. Dengan demikian, tulisan ini adalah kajian deskriptif yang ditujukan tidak untuk mengevaluasi pandangan keduanya.
Ahlussunah wal Jama’ah
Sebutan Ahlussunah wal Jama’ah mengandung penyandaran kepada dua hal, as-sunnah dan al-ja-ma‘ah. Pengertian yang pertama adalah segala yang dinisbatkan kepada Nabi SAW, baik berupa sabda, perbuatan, persetujuan, maupun sifat fisik dan non-fisik.2 Di dalamnya, tercakup pula sunnah al-khulafa’ ar-rasyidin.3 Makna al-jama’ah adalah ulama yang otoritatif pada setiap masa.4 Dengan demikian, yang termasuk ahlussunnah wal jama’ah adalah umat Islam yang pemahaman dan pengamalan agamanya didasarkan pada pemahaman dan pengamalan para Sahabat serta sebagaimana yang difahami dan diamalkan oleh generasi kemudian secara berkelanjutan yang bersandar pada mata rantai keilmuan (sanad) yang tidak terputus5 sampai pada Nabi SAW, baik dalam pandangan dan pemahaman (madzahib) maupun metode memahami (manahij al-fahm wa al-istinbath). Yang penting untuk ditekankan dalam hal ini adalah prinsip-prinsip interaksi intelektual dan kebudayaan dalam mengadopsi dan mengadaptasi hal-hal baru yang ditemui terutama oleh tiga generasi pertama.
Selain istilah ahlussunnah wal jama’ah, terdapat beberapa ungkapan lain yang bermakna serupa yang juga digunakan dalam hadits, seperti al-sawad al-a‘zham6, ma ana ‘alayhi wa ashhabi7, dan al-jama‘ah8. Istilah-istilah ini merujuk pada pengertian yang sama, yaitu semua umat Islam yang mengikuti jejak Rasulullah SAW dan para Sahabat RA. Ahlussunnah wal jama’ah merupakan mayoritas umat Islam dalam setiap masa. Seperti yang diindikasikan oleh jawaban Imam Malik RA (w. 179/795) ketika ditanya tentang Ahlus-sunnah wal jama’ah, “Mereka yang tidak punya sebutan tertentu: bukan jahmi, bukan qadari, dan juga bukan rafidli”9. Dengan demikian, mereka adalah mayoritas umat Islam yang pemahaman agamanya diwarisi dari generasi sebelumnya dengan silsilah sanad yang sampai pada Nabi SAW dan para Sahabat RA, bukan mereka yang membuat pandangan atau cara berpikir yang tidak dikenal oleh generasi sebelumnya, yang membuat mereka terpencil dari sebagian besar umat Islam.
Dalam konteks ini, yang perlu difahami adalah perbedaan antara dalil yang bersifat pasti (qath‘iyat) dan yang tidak (zhanniyat). Yang pertama adalah yang disepakati para Sahabat RA, yang pasti berlandaskan Wahyu, sedangkan yang kedua berada dalam wilayah yang diperselisihkan oleh para Sahabat maupun ulama sesudah mereka karena ketiadaan dalil yang bersifat pasti, makna dan transmisinya sekaligus (qath‘iy al-dalalah wa al-wurud).10 Dengan demikian, Al-Quran dan Hadits sebagai sumber utama dalil dalam Islam perlu dimengerti dalam matriks qath‘iy-zhanniy dan dalalah-wurud. Walhasil, ayat Al-Quran maupun hadits yang bersifat pasti, transmisi dan maknanya (qath‘iy al-wurud wa al-dalalah), adalah satu-satunya jenis dalil dalam kerangka ini yang menghasilkan produk yang tidak boleh diperselisihkan dan harus disepakati, baik dalam masalah keyakinan maupun amaliah. Tiga jenis dalil yang lain (yang pasti maknanya, namun tidak pasti transmisinya; yang tidak pasti maknanya, namun pasti jalur transmisinya; yang tidak pasti makna dan transmisinya), secara umum, berpeluang untuk difahami secara berbeda.
Tauhid Menurut Imam Abu Al-Hasan Al-Asy’ari
Dalam pemaparannya mengenai aqidah ashhab al-hadits dan ahl al-sunnah, Imam Al-Asy’ari menulis ”Bahwa Allah SWT Tuhan Yang Esa (Wahid), Tunggal (Fard), Maha Mutlak (Shamad) tidak ada tuhan selain-Nya”.11 Pengertian tauhid menurut Al-Asy’ari yang dielaborasi lebih lanjut oleh Ibn Furak (w. 406/1015), yang meringkas pandangan-pandangan Al-Asy’ari, menyatakan bahwa makna wahid dan ahad adalah menyendiri yang berarti ‘penafian terhadap yang menyamai dalam dzat, perbuatan dan sifat’, ”Karena Dia dalam Dzat-Nya tidak terbagi, dalam Sifat-Nya tidak ada yang menyamai, dan dalam pengaturan-Nya tidak ada sekutu”.12 Lebih lanjut, Imam Al-Haramayn (w. 478/1085) menegaskan bahwa makna tauhid adalah meyakini keesaan Allah, yang penjelasannya ditujukan untuk membuktikan secara argumentatif keesaan Allah SWT dan bahwa tidak ada Tuhan selain-Nya.13
Dalam membuktikan keesaan Allah SWT, Imam Al-Asy’ari menggunakan argumentasi rasional yang didasarkan kepada ayat Al-Quran. Misalnya, ketika menjabarkan konsep tauhid, beliau terlebih dahulu mengutip surah Al-Syura ayat sebelas (11) dan surah Al-Ikhlas ayat empat (4) yang dilanjutkan dengan argumentasi rasional berdasarkan dua ayat di atas.14 Dalam bukunya yang lain, Imam Al-Asy’ari memaparkan terlebih dahulu pembuktian mengenai keesaan Allah SWT dan diakhiri dengan kutipan surah Al-Anbiya’ ayat 22.15 Dengan demikian, pendekatan yang beliau gunakan dalam memaparkan argumentasi pembuktian tauhid dan unsur akidah yang lain menggabungkan dalil tekstual dan penalaran rasional, suatu hal yang kemudian menjadi ciri pengikutnya.
Penjabaran Imam Al-Asy’ari mengenai konsep tauhid dapat dibagi ke dalam tiga aspek: dzat, shifat dan af‘al (perbuatan).16 Yang pertama bermakna bahwa Allah SWT Esa dalam dzat-Nya dan tidak menyerupai sesuatu apapun selain-Nya. Hujah untuk hal ini adalah Al-Quran surah Al-Syura ayat sebelas (11) dan surah al-Ikhlas ayat empat (4) yang dilanjutkan dengan penalaran rasional bahwa keserupaan Allah dengan makhluk akan memiliki konsekuensi kebaharuan dan kebutuhan terhadap pencipta atau berkonsekuensi bahwa dahulunya makhluk yang menyerupai-Nya, keduanya mustahil bagi Allah SWT.17 Singkatnya, tauhid dzat adalah mengesakan Allah SWT, dalam dzat-Nya tidak tersusun dari elemen-elemen, internal maupun eksternal, dan tidak ada yang menyamai dan menyerupai dzat-Nya.
Yang kedua adalah tawhid al-shifat, sifat ketuhanan adalah sebagaimana yang ada dalam Al-Quran dan Hadits, yang afirmasi terhadapnya sama sekali tidak menimbulkan penyerupaan (tasybih) karena sifat-Nya tidak seperti sifat makhluk, sebagaimana dzat-Nya tidak seperti dzat makhluk.18 Sifat-sifat ini bukanlah sesuatu yang baharu (muhdats) atau menyerupai sifat sesuatu yang baharu karena yang demikian akan berkonsekuensi ketiadaan sifat itu sebelum ia ada, yang mengeluarkannya dari ketuhanan.
Salah satu konsekuensi dari tauhid sifat adalah penafian terhadap penggambaran (takyif). Imam Al-Asy’ari menegaskan bahwa Ahlussunnah bersepakat untuk “menyifati Allah SWT dengan seluruh sifat yang diatribusikan oleh-Nya dan utusan-Nya, tanpa penentangan, tanpa penggambaran, dan bahwa beriman terhadap-Nya adalah wajib, dan meninggalkan penggambaran adalah keharusan”.19 Pendeknya, Imam al-Asy’ari mendasarkan pandangannya dalam masalah ini pada ayat Al-Quran dan Hadits dengan menghindari penyerupaan (tasybih).
Selanjutnya adalah tawhid al-af‘al, mengandung pengertian bahwa yang pencipta segala sesuatu adalah Allah SWT dan bahwa perbuatan makhluk diciptakan oleh-Nya.20 Imam Al-Baqillani (w. 402/1013) mengelaborasi lebih lanjut pengertian tauhid ini ketika menafsirkan surah al-Buruj ayat enam belas (16) dengan menekankan bahwa Allah SWT adalah yang mencipta seluruh perbuatan hamba dan seluruh peristiwa alam.21 Penekanan dari tauhid ini adalah kemutlakan kekuasaan Allah SWT sehingga Dialah satu-satunya yang menciptakan segala makhluk.
Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa tauhid dalam pandangan Imam al-Asy’ari bermakna mengesakan Allah SWT dalam dzat, sifat, dan perbuatan-Nya. Hal itu berarti bahwa Allah adalah Maha Esa dalam berbagai dimensi dari ketiga aspek tadi. Argumen yang beliau gunakan didasarkan kepada Al-Quran dan Hadits yang dielaborasi secara rasional.
Tauhid Menurut Imam Ibn Taymiyyah
Ibn Taymiyyah menekankan bahwa tauhid yang wajib adalah tauhid uluhiyah yang bermakna “menyembah Allah tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun sehingga ketaatan seluruhnya menjadi milik-Nya, dan tidak takut kecuali pada Allah, tidak berdoa kecuali pada Allah, dan Allah menjadi yang paling dicintai seorang hamba daripada segala sesuatu sehingga mereka mencintai karena Allah, membenci karena Allah, menyembah kepada Allah, dan berpasrah pada-Nya”.22 Pengertian tauhid ini memiliki dua aspek, keyakinan (i‘tiqadi) dan praktis (‘amali). Yang pertama disebut tawhid al-ma‘rifah wa al-itsbat,23 sedangkan yang kedua disebut tawhid al-‘ibadah, yang lebih lanjut lagi didefinisikan oleh Ibn Taymiyyah sebagai “menyatakan (tahqiq) kesaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah [dengan] bermaksud Allah dengan ibadah dan menghendaki-Nya dengan (ibadah) itu bukan selain-Nya”.24 Ibadah sendiri didefinisikan oleh Ibn Taymiyyah sebagai “nama untuk semua yang dicintai dan diridhai Allah, baik berupa ucapan maupun perbuatan, lahir maupun batin”.25
Reformulasi yang demikian ditujukan sebagai kritik atas formulasi “al-mubtadi‘un fi al-tawhid min ahl al-kalam”,26 yang menurut Ibn Taymiyyah membatasi makna ketuhanan (ilahiyyah) pada sifat mencipta (al-khalq), kuasa (al-qudrah), dahulu (al-qidam), dan semacamnya seraya abai pada esensi tauhid yang berupa pengesaan Allah dalam ibadah dan mengakibatkan mereka terjerumus dalam kesyirikan yang menafikan Islam.27
Secara lebih terperinci, Ibn Taymiyyah membagi tauhid ke dalam tiga jenis: (1) al-rububiyah, (2) al-uluhiyah, dan (3) al-asma wa al-shifat. Yang pertama bermakna meyakni bahwa Allah SWT adalah “Pencipta segala sesuatu, Tuhannya (Rabbuhu), Pemiliknya, tidak ada pencipta selain-Nya [...]. Segala apa yang ada, gerakan maupun diam, adalah dengan ketentuan, ketetapan, kehendak, dan cipta-Nya”.28 Hal ini didasarkan atas analisis terhadap kata al-Rabb yang dimaknai sebagai “yang menghidup-kembangkan (yu-rabbi) hamba-Nya, memberi bentuk, kemudian memberi petunjuknya pada semua keadaannya, ibadah atau lainnya”.29 Ringkasnya, tauhid ini dapat dibagi ke dalam dua kategori: (1) kemutlakan kekuasaan Allah SWT dan (2) kesempurnaan kasih sayang dan hikmah-Nya.30 Tauhid rububiyah ini, pada aspek tertentu, paralel dengan tauhid af‘al sebagaimana yang dijabarkan Imam al-Asy’ari. Keduanya merupakan konseptualisasi dari Tuhan dalam kemutlakan kuasa-Nya.
Yang kedua adalah tauhid uluhiyah yang didefinisikan sebagai penyembahan pada Allah tanpa penyekutuan.31 Karenanya, seseorang yang meyakini Allah SWT sebagai Pengatur dan Pencipta segala sesuatu (al-Rabb), tetapi menyembah yang lain, adalah orang menyekutukan Tuhan (musyrik) dalam penyembahan kepada-Nya.32 Hal itu karena kata al-Ilah bermakna “yang dipertuhan dan disembah dengan cinta, kepasrahan, pengagungan, dan penghormatan”33 yang berhubungan dengan perintah dan larangan, cinta, takut, dan harapan, sedangkan kata al-Rabb bermakna “yang menghidup-kembangkan (yurabbi) hamba-Nya, memberi bentuk kemudian memberi petunjuknya pada semua keadaannya, ibadah atau lainnya”34 yang berkonsekuensi kepasrahan dan penyerahan diri.35 Tauhid uluhiyah, dengan demikian adalah tauhid ibadah, karena yang dipertuhan (al-ma’luh) adalah yang disembah (al-ma‘bud).36 Ibn Taymiyyah menegaskan sentralitas tauhid uluhiyah atau tauhid ibadah ini dengan menyatakan bahwa tauhid inilah yang “didakwahkan oleh Al-Quran dari pertama hingga terakhir dan semua kitab suci dan para utusan”37 dan juga “jantung keimanan dan awal serta akhir Islam”.38 Yang termasuk dalam pengertian ibadah, menurut Ibn Taymiyyah, adalah “semua kekhususan Tuhan, maka tidak (boleh) ditunduki selain-Nya, tidak (boleh) ditakuti selain-Nya, tidak (boleh) dipasrahi selain-Nya, tidak (boleh) dijadikan objek doa selain-Nya, tidak (boleh) sholat pada selain-Nya, tidak (boleh) puasa karena selain-Nya, tidak (boleh) bersedekah kecuali karena-Nya, dan tidak (boleh) dikunjungi untuk berhaji kecuali rumah-Nya”.39 Bagi Ibn Taymiyyah, tauhid uluhiyah berarti bahwa ibadah—segala perbuatan lahir batin yang diridhai Allah SWT—hanya boleh ditujukan kepada Allah SWT.
Dengan konsep tauhid uluhiyah ini, Ibn Taymiyyah mengkritik ulama kalam yang (dalam pandangannya) membatasi pembahasan tauhid pada tauhid rububiyah seraya abai terhadap tauhid uluhiyah yang justru merupakan inti tauhid. Kesalahan ini menggiring pada kesalahan lain, di antaranya: anggapan bahwa orang yang meyakini Allah SWT sebagai satu-satunya yang mampu mencipta alam dianggap telah bersyahadat, padahal kemampuan mencipta bukanlah makna dari al-Ilah, melainkan al-Rabb.40 Untuk membuktikan bahwa tauhid rububiyah tidak cukup, Ibn Taymiyyah menyatakan bahwa kaum musyrikin Arab mengakui keesaan Allah SWT dalam menciptakan langit dan bumi, tetapi itu tidak mengeluarkan mereka dari kesyirikan41 karena mereka menyekutukan-Nya dalam ibadah.
Yang ketiga adalah tauhid al-asma wa al-shifat. Maknanya adalah mengesakan Allah dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya sebagaimana diriwayatkan dalam Al-Qur’an dan hadits, dengan mengafirmasi penjelasan dalam Al-Quran dan hadits dan menegasikan segala yang berlawanan dengan kemahasempurnaan Allah. Tauhid ini menafikan penggambaran sifat (takyif), pengingkaran sifat ketuhanan (ta‘thil), penafsiran dalil dengan makna yang salah (tahrif), penyerupaan dengan sifat makhluk (tamtsil).42 Tauhid ini, secara ringkas, adalah mengimani semua nama-nama dan sifat-sifat Allah SWT tanpa penggambaran, penyerupaan, dan penyelewengan makna.
Beberapa Catatan
Elaborasi Imam Al-Asy’ari terhadap konsep tauhid merupakan tanggapan terhadap situasi teologis-intelektual zamannya. Ketika itu, banyak aliran-aliran yang menyimpang dalam akidah hadir di tengah umat. Hal ini terlihat dari cara pemaparan istilah tauhid dalam kitab-kitab Al-Asy’ari yang mayoritas merupakan tanggapan terhadap berbagai pandangan teologis yang menyimpang itu. Beberapa yang dapat disebut, di samping yang telah dikutip sebelumnya, adalah diskusi mengenai konsep tauhid dalam kitab al-Ibanah yang ditujukan sebagai respon terhadap golongan Jahmiyyah.43 Hal yang sama dapat ditemukan dalam kitab Al-Maqalat, istilah tauhid didiskusikan untuk membantah pandangan Syi‘ah Rafidlah, Khawarij, Murji’ah, dan Mu‘tazilah.44
Ibn Taymiyyah, yang hidup kurang lebih lima abad sesudah Imam al-Asy’ari, berada dalam posisi yang lebih baik untuk mengonseptualisasi tauhid secara lebih terperinci dan sistematis. Hal ini didorong pula oleh apa yang dipandang Ibn Taymiyyah sebagai korupsi dalam bidang akidah yang disebabkan oleh (1) penggunaan rasio yang dalam pandangan Ibn Taymiyyah tidak proporsional45 dan (2) infiltrasi filsafat dalam ilmu kalam.46 Secara terperinci, Ibn Taymiyyah memaparkan bantahannya terhadap konsep tauhid ulama kalam yang dibagi dalam aspek dzat, shifat, dan af‘al.47 Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Ibn Taymiyyah berusaha untuk memperbaiki apa yang dipandang sebagai penyimpangan dalam wacana teologis ahlussunnah wal jamaah,48 walaupun sejumlah pandangan Ibn Taymiyyah memunculkan kritik dari berbagai ulama yang sezaman dan yang hidup sesudahnya. Dinamika seperti ini adalah sesuatu yang wajar dan harus disikapi dengan tepat dan beradab.
Terdapat beberapa perbedaan yang dapat dicatat dari perbandingan kedua konsep tauhid yang sudah dipaparkan tersebut. Di antaranya adalah perbedaan keduanya dalam formulasi tauhid. Konsep tauhid Al-Asy’ari yang dalam pembentukannya lebih banyak merespon kemunculan aliran-aliran non-ahlussunnah saat itu lebih bersifat intelektual-rasional, suatu kecenderungan yang diwarisi oleh pengikutnya. Ibn Taymiyyah, di sisi lain, yang menerima warisan keilmuan yang lebih lengkap dan bereaksi terhadap dinamika yang ada pada zamannya membangun konsep tauhidnya secara relatif lebih detail dan lengkap dengan mengaitkan aspek kognitif dan praktis.49
Perbedaan lainnya dapat dilihat dari cara pandang terhadap hubungan antara kata al-ilah dan al-rabb. Konsep tauhid Al-Asy’ari dan para pengikutnya menegaskan bahwa keduanya memiliki makna dasar berbeda, tetapi memiliki pengertian (madlul) yang sama sehingga tidak terbayangkan mengimani salah satunya beserta mengingkari terhadap yang lain. Ringkasnya, setiap yang beriman terhadap keesaan Allah SWT sebagai al-rabb pasti beriman kepadanya sebagai al-ilah di saat yang sama.
Al-Taftazani (w. 792/1390), misalnya, menulis “Hakikat tauhid adalah meyakini ketiadaan sekutu [bagi Allah SWT] dalam ketuhanan (ilahiyah) dan kekhususan-Nya. Dan tidak ada pertentangan antara umat Islam bahwa pengaturan alam semesta, penciptaan jasad, dan keharusan disembah (istihqaq al-ibadah) dan dahulunya sifat yang ada pada dzat-Nya semuanya adalah di antara kekhususan [sifat ketuhanan].”50 Dalam pernyataan ini, Al-Taftazani menekankan bahwa pengaturan alam dan penciptaan (yang menurut Ibn Taymiyyah merupakan tauhid rububiyah) serta keharusan yang disembah (yang menurut Ibn Taymiyyah merupakan tauhid uluhiyah) adalah satu kesatuan. Keimanan terhadap salah satunya memustahilkan pengingkaran pada yang lain.51 Salah satu argumen yang untuk membuktikan hal ini adalah surah Ali ‘Imran ayat 80, Al-Naml ayat 25, dan Al-Syu‘ara ayat 97 dan 98.
Di sisi lain, Ibn Taymiyyah menekankan sentralitas tauhid uluhiyah seraya menggambarkan kemungkinan keterpisahannya secara praktis dari tauhid rububiyah. Beliau, misalnya, mengutip kasus kaum musyrikin yang bertauhid hanya dengan tauhid rububiyah saja seraya berargumen dengan surah Luqman ayat 25 dan surah al-Mu’minun ayat 86 dan 87.52
Dengan demikian, salah satu perbedaan penting dalam konsep tauhid kedua madzhab ini adalah dalam memandang hubungan antara tauhid uluhiyah dan rububiyah. Al-Asy'ari dan pengikutnya menjadikan keduanya saling melekat sehingga tidak terbayangkan apabila seseorang yang mengimani salah satunya juga mengingkari yang lain. Bagi Ibn Taymiyyah, setiap orang yang bertauhid uluhiyah pasti bertauhid rububiyah, tetapi tidak sebaliknya.
Namun demikian, terdapat beberapa poin yang disepakati oleh keduanya dalam persoalan tauhid. Secara umum, kesepakatannya: keduanya mengimani semua berita yang datangnya dari Al-Quran dan Hadits yang mendeskripsikan Sifat Allah SWT. Hal itu tidak berdampak pada penyamaan dengan makhluk. Selain itu, keduanya sepakat bahwa Allah SWT Maha Esa, tak ada yang menyerupai-Nya dalam sifat dan nama-Nya, tak ada yang membantunya dalam mencipta dan mengatur seluruh makhluk. Keduanya juga bersepakat dalam hal-hal lain yang dijelaskan dalam Al-Quran dan hadits yang pasti makna dan transmisinya (qath‘iy al-dalalah wa al-wurud).
Hal-hal semacam inilah yang semestinya menjadi pegangan bersama, dipelajari dan diamalkan bersama oleh semua Muslim, baik yang awam maupun yang alim. Adapun persoalan lain yang tidak bersifat demikian, semestinyalah hanya dibicarakan oleh mereka yang otoritatif di bidangnya atau para pencari ilmu yang sungguh-sungguh. Melakukan hal yang sebaliknya dapat menimbulkan apa yang sering kali kita saksikan sepanjang sejarah umat Islam hingga hari ini, yakni ketegangan bahkan permusuhan yang disebabkan oleh perdebatan orang-orang yang tidak tahu.
Walhasil, dalam membaca dan menimbang pandangan para ulama, selayaknya seorang Muslim bersikap adil dan beradab, yang salah satunya adalah dengan menjadikan yang pasti benar (qathi‘iy al-dalalah wa al-wurud min al-Kitab wa al-Sunnah) sebagai pemersatu umat Islam. Kita harus menempatkan para ulama yang otoritatif sebagai pihak yang berhak berbicara di wilayah selainnya. Sekali lagi, hal ini untuk menghindari potensi perpecahan yang amat mungkin timbul dari penekanan yang tidak proporsional terhadap aspek zhanniyat dari agama dengan adanya keterlibatan orang awam.
Tentu saja hal ini tidak berarti meniadakan perbedaan. Sebaliknya, perbedaan bukan saja terjadi, melainkan juga merupakan bagian integral dari sejarah panjang umat Islam. Lebih jauh lagi, beberapa peristiwa di zaman Nabi SAW menunjukkan bahwa beberapa bentuk perbedaan pemahaman, yang berakibat perbedaan perbuatan, bukan hanya terjadi, tapi juga diizinkan.53 Namun, yang perlu digarisbawahi adalah bahwa perbedaan itu harus muncul dari ijtihad seorang ulama yang punya otoritas untuk berijtihad.
Wallahu a‘lam.
Catatan kaki:
1 Mushthafa Abd al-Raziq, Tamhid li Tarikh al-Falsafah al-Islamiyah (Beirut dan Kairo: Dar al-Kitab al-Lubnani dan Dar al-Kitab al-Mishri, 2011), hlm. 429.
2 Nur al-Din ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits (Damaskus: Dar al-Fikr, 1979), hlm. 29—30.
3 Abu Abd Allah Muhammad bin Yazid al-Qazwini, Sunan Ibn Majah, ed. Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi (Beirut: Dar al-Fikr, tt, v. 1), hlm. 15.
4 Abu al-Fadl Ahmad bin ‘Ali bin Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari (Beirut: Dar al-Ma'rifah, 1379, v. 13), hlm. 316.
5 Tentang peran penting sanad, Abd Allah bin al-Mubarak, berkata “Penyebutan sanad (transmisi keilmuan) adalah bagian dari agama; andaikan tidak ada klarifikasi transmisi keilmuan, niscaya siapa saja bisa berbicara apa saja”. Lihat Abu al-Husayn Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyayri, al-Jami al-Shahih al-Musamma Shahih Muslim (Beirut: Dar al-Jil dan Dar al-Afaq al-Jadidah, tt., v. 1), hlm. 12.
6 Abu al-Qasim Sulayman bin Ahmad al-Thabarani, al-Mu‘jam al-Awsath, ed. Thariq bin 'Iwadl Allah bin Muhammad (Kairo: Dar al-Haramayn, 1415, v. 7), hlm. 175; Abu al-Qasim Sulayman bin Ahmad al-Thabarani, al-Mu‘jam al-Kabir, ed. Hamdi bin Abd al-Majid al-Salafi (Mosul: Maktabah al-'Ulum wa al-Hikam, 1983, v. 8), hlm. 152, 268, 274; Abu Abd Allah Muhammad bin Yazid al-Qazwini, Sunan Ibn Majah (v. 2), hlm. 1303.
7 Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, ed. Ahmad Muhammad Syakir, dkk (Beirut: Dar Ihya al-Turaats al-‘Arabi, tt., v. 5), hlm. 26.
8 Abu Abd Allah Ahmad bin Hanbal al-Syaybani, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal (Kairo: Muassasah Qurthubah, tt., v. 4), hlm. 102; Abu Dawud Sulayman bin al-Asy‘ats al-Sijistani, Sunan Abi Dawud (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, tt., v. 4), hlm. 324.
9 Abu ‘Umar Yusuf bin ‘Abd al-Barr, al-Intiqa’ fi Fadlail al-A’immah al-Tsalatsah al-Fuqaha’, ed. ‘Abd al-Fattah Abu Ghuddah (Aleppo dan Beirut: Maktab al-Mathbu‘at al-Islamiyah dan Dar al-Basya’ir al-Islamiyah, 1997), hlm. 72. Bandingkan dengan pernyataan Ibn Katsir bahwa ahlussunnah wal jama'ah adalah mayoritas umat Islam dalam Abu al-Fida’ Isma‘il bin ‘Umar bin Katsir al-Qurasyi, al-Nihayah fi al-Fitan wa al-Malahim, ed. Muhammad Ahmad Abd al-Aziz (Beirut: Dar al-Jil, 1988, v. 2), hlm. 36.
10 Muhammad Na‘im Muhammad Hani Sa‘i, al-Qanun fi ‘Aqaid al-Firaq wa al-Madzahib al-Islamiyah (Kairo: Dar al-Salam, 2007), hlm 522.
11 Abu al-Hasan ‘Ali bin Ismail al-Asy‘ari, Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Mushallin, ed. Muhammad Muhy al-Din Abd al-Hamid (Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyah, 1990, v. 1), hlm. 345. Pernyataan serupa juga dapat ditemukan dalam Abu al-Hasan ‘Ali bin Ismail al-Asy‘ari, al-Ibanah an Ushul al-Diyanah, ed. Fawqiyah Husayn Mahmud (Abidin: Dar al-Anshar, 1977), hlm. 21.
12 Abu Bakr Muhammad bin al-Hasan bin Furak, Mujarrad Maqalat al-Syaykh Abi al-Hasan al-Asy‘ari, ed. Daniyal Jimarih (Beirut: Dar al-Masyriq, 1978), hlm. 55. Dalam beberapa karya Imam al-Asy’ari sendiri terdapat penjelasan mengenai beberapa aspek tauhid ini, yang kemudian dijabarkan lebih luas oleh para pengikutnya. Mengenai tauhid Dzat misalnya, beliau menulis bahwa ”Dia SWT tidak menyerupai alam sama sekali” dan kemudian dilanjutkan dengan penjabaran argumentasi yang mendukung pernyataannya dengan mengutip dari beberapa ayat al-Quran dan argumentasi rasional. Abu al-Hasan ‘Ali bin Ismail al-Asy‘ari, Risalah ila Ahl al-Tsaghr, ed. Abd Allah Syakir Muhammad al-Junaydi (al-Madinah al-Munawwarah: Maktabah al-Ulum wa al-Hikam, 2002), hlm. 210-212; Bdk. Abu al-Hasan ‘Ali bin Ismail al-Asy‘ari, Kitab al-Luma‘ fi al-Radd ‘ala Ahl al-Zaygh wa al-Bida‘, ed. Hamudah Gharabah (ttp: Mathba‘ah Mishr Syirkah Musahamah Mishriyah, 1955), hlm. 20-21.
13 Imam al-Haramayn al-Juwayni, al-Syamil fi Ushul al-Din, ed. ‘Ali Sami al-Nasysyar, Fayshal Budayr ‘Awn dan Suhayr Muhammad Mukhtar (Iskandariyah: Mansya‘ah al-Ma‘arif, 1969), hlm. 351-352.
14 Abu al-Hasan ‘Ali bin Ismail al-Asy‘ari, Risalah ..., hlm. 210.
15 Abu al-Hasan ‘Ali bin Ismail al-Asy‘ari, Kitab al-Luma‘ fi al-Radd ‘ala Ahl al-Zaygh wa al-Bida‘, ed. Hamudah Gharabah (ttp: Mathba‘ah Mishr Syirkah Musahamah Mishriyah, 1955), hlm. 20-21.
16 Pembagian ini yang kemudian dikenal di kalangan pengikut madzhab al-Asy’ari.
17 Abu al-Hasan ‘Ali bin Ismail al-Asy‘ari, Risalah ..., hlm. 212.
18 Ibid., hlm. 213.
19 Ibid., hlm. 236
20 Abu al-Hasan ‘Ali bin Ismail al-Asy‘ari, al-Ibanah ..., hlm. 23; Abu al-Hasan ‘Ali bin Ismail al-Asy‘ari, Maqalat al-Islamiyyin ..., v. 1, hlm. 346.
21 Abu Bakr Muhammad bin al-Thayyib bin al-Baqillani, Kitab al-Tamhid, ed. Richard Joseph McCarthy (Beirut: al-Maktabah al-Syarqiyah, 1957), hlm. 280.
22 Taqiy al-Din Abu al-’Abbas Ahmad bin Abdul Halim ibn Taymiyyah, Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyah, ed. Muhammad Rasyad Salim (ttp.: Muassasah Qurthubah, tt., v. 3), hlm. 171-172.
23 Abu Abd Allah Muhammad bin Abi Bakr ibn al-Qayyim al-Jawziyyah, Madarij al-Salikin bayn Manazil Iyyaka Na‘budu wa Iyyaka Nasta‘in, ed. Muhammad Hamid al-Faqi (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1973, v. 3), hlm. 449.
24 Taqiy al-Din Abu al-‘Abbas Ahmad bin Abdul Halim ibn Taymiyyah, al-Fatawa al-Kubra, ed. Muhammad Abd al-Qadir Atha dan Mushthafa Abd al-Qadir (ttp.: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1987, v. 6), hlm. 566.
25 Taqiy al-Din Abu al-‘Abbas Ahmad bin Abdul Halim ibn Taymiyyah, al-‘Ubudiyah, ed. Muhammad Zuhayr al-Syawiys (Beirut: al-Maktab al-Islami, 2005), hlm. 44.
26 Taqiy al-Din Abu al-‘Abbas Ahmad bin Abdul Halim ibn Taymiyyah, al-Fatawa al-Kubra, v. 6, hlm. 566.
27 Ibid.
28 Taqiy al-Din Abu al-‘Abbas Ahmad bin Abdul Halim ibn Taymiyyah, al-Furqan bayn Awliya al-Rahman wa Awliya al-Syaythan, ed. Abd al-Rahman bin Abd al-Karim al-Yahya (Riyadl: Maktabah Dar al-Minhaj, 1428), hlm. 172.
29 Taqiy al-Din Abu al-‘Abbas Ahmad bin Abdul Halim ibn Taymiyya-h, Majmu al-Fatawa, dicetak atas perintah Raja Fahd bin Abd al-Aziz, ed. Abd al-Rahman bin Qasim (ttp: tp, 1398, v. 1), hlm. 21-22
30 Ibid., v. 2, hlm. 398-401
31 Taqiy al-Din Abu al-‘Abbas Ahmad bin Abdul Halim ibn Taymiyyah, Syarh al-‘Aqidah al-Asfihaniyah, ed. Ibrahim Saiday (Riyadl: Maktabah al-Rusyd, 1415), hlm. 42.
32 Taqiy al-Din Abu al-‘Abbas Ahmad bin Abdul Halim ibn Taymiyyah, al-Fatawa al-Kubra, v. 6, hlm. 566.
33 Taqiy al-Din Abu al-‘Abbas Ahmad bin Abdul Halim ibn Taymiyyah, Majmu‘ al-Fatawa, v. 1, hlm. 21-22
34 Ibid.
35 Ibid., v. 1, hlm. 69.
36 Ibid.
37 Taqiy al-Din Abu al-‘Abbas Ahmad bin Abdul Halim ibn Taymiyyah, Majmu‘ah al-Rasa’il wa al-Masa’il, ed. Muhammad Rasyid Ridla (ttp.: Lajnah al-Turats al-‘Arabi, tt., v). hlm. 55.
38 Taqiy al-Din Abu al-‘Abbas Ahmad bin Abdul Halim ibn Taymiyyah, Majmu‘ al-Fatawa, v. 1, hlm. 55.
39 Taqiy al-Din Abu al-‘Abbas Ahmad bin ‘Abdul Halim ibn Taymiyyah, al-Radd ala al-Akhna'i wa Istihbab Ziyarah Khayr al-Bariyyah, ed. Abd al-Rahman bin Yahya al-Mu‘allimi al-Yamani (Kairo: al-Mathba‘ah al-Salafiyah, tt.), hlm. 98.
40 Taqiy al-Din Abu al-‘Abbas Ahmad bin ‘Abdul Halim ibn Taymiyyah, al-Tadammuriyah: Tahqiq al-Itsbat li al-Asma’ wa al-Shifat wa Haqiqah al-Jam‘ bayn al-Qadar wa al-Syar‘. ed. Muhammad bin ‘Awdah al-Suudi (Riyadl: Maktabah ‘Obeikan, 2000), 185—186.
41 Taqiy al-Din Abu al-‘Abbas Ahmad bin ‘Abdul Halim ibn Taymiyyah, Qa‘idah Jalilah fi al-Tawassul wa al-Wasilah, ed. Rabi‘ bin Hadi ‘Umayr al-Madkhali, ‘Ujman: Maktabah al-Furqan, 2001, hlm. 264.
42 Muhammad bin Khalil Hasan Harras, Syarh al-‘Aqidah al-Wasithiyah, ed. ‘Alawi bin ‘Abd al-Qadir al-Saqqaf, al-Khabar: Dar al-Hijrah li al-Nasyr wa al-Tawzi‘, 1415, hlm. 66-69.
43 Abu al-Hasan ‘Ali bin Ismail al-Asy‘ari, al-Ibanah ..., hlm. 74.
44 Abu al-Hasan ‘Ali bin Ismail al-Asy‘ari, Maqalat al-Islamiyyin ..., v. 1, hlm. 109, 124, 185, 186, 223, 224, 235, 236.
45 Taqiy al-Din Abu al-‘Abbas Ahmad bin ‘Abdul Halim ibn Taymiyyah, al-Tadammuriyah ..., hlm. 148.
46 Taqiy al-Din Abu al-’Abbas Ahmad bin Abdul Halim ibn Taymiyyah, Minhaj al-Sunnah ..., tt., v. 3, hlm. 171.
47 Taqiy al-Din Abu al-‘Abbas Ahmad bin ‘Abdul Halim ibn Taymiyyah, al-Tadammuriyah ..., hlm. 179
48 Hal ini, bagaimanapun, bukan tanpa kritik. Kritik dari ulama ahlussunnah sendiri telah muncul di masa hidupnya. Beberapa kali Ibn Taymiyyah terlibat konflik terbuka dengan beberapa kalangan ulama. Tentang beberapa peristiwa kontroversial dalam hidup beliau baca Abu al-Fadl Ahmad bin ‘Ali ibn Hajar al-‘Asqalani, al-Durar al-Kaminah fi A‘yan al-Mi’ah al-Tsaminah, ed. Muhammad Abd al-Mu‘id Dlan (Hayderabad: Majlis Da’irah al-Ma‘arif al-‘Utsmaniyah, 1972, v. 1), hlm. 168—186.
49 Di luar lingkaran Ibn Taymiyyah, aspek praktis ini merupakan wilayah tasawuf, yang bermakna pengamalan syariat dalam maqam ihsan, berkulminasi pada tahapan tertinggi tauhid. Tentang definisi tasawuf baca Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), hlm. 121-122, tentang tingkatan-tingkatan tauhid baca Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, tt., v. 4), hlm. 245 dst.
50 Sa‘d al-Din Mas‘ud bin ‘Umar al-Taftazani, Syarh al-Maqashid, ed. ;Abd al-Rahman ;Umayrah, Beirut: ‘Alam al-Kutub, 1998, v. 4, hlm. 39.
51 Bandingkan dengan pernyataan Ibn Abi Syarif yang secara lebih tegas menjelaskan hubungan uluhiyah dan rububiyah, dia menulis ”Uluhiyah adalah memiliki sifat-sifat [tertentu] yang karenanya Dia SWT wajib disembah, yaitu sifat-sifat yang hanya menjadi milik-Nya SWT, maka tidak ada sekutu bagi-Nya di dalamnya. [Sifat-sifat itu] dinamakan kekhususan ketuhanan (khawash al-uluhiyah), yang di antaranya adalah menciptakan dari tiada, pengaturan alam...”, Kamal al-Din Muhammad ibn Muhammad Ibn Abi Syarif al-Maqdisi, al-Musamarah fi Syarh al-Musayarah (Kairo: al-Maktabah al-Azhariyah li al-Turats, 2006, v. 1), hlm. 62. Dalam kutipan ini, ditegaskan bahwa pengesaan dalam kewajiban disembah (ibadah/tauhid uluhiyah) merupakan konsekuensi dari pengesaan dalam penciptaan dan pengaturan alam.
52 Taqiy al-Din Abu al-’Abbas Ahmad bin Abdul Halim ibn Taymiyyah, Minhaj al-Sunnah ..., tt., v. 3, hlm. 171.
53 Baca misalnya tentang peristiwa Sholat Ashar di Bani Qurayzhah dalam Abu Abd Allah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, al-Jami al-Shahih al-Mukhtashar, ed. Mushthafa Dib al-Bugha (Beirut: Dar Ibn Katsir, 1987, v. 1), hlm. 321, No. Hadits. 904; ibid, v. 4, hlm. 1510, No. Hadis. 3893; Abu al-Husayn Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyayri, al-Jami al-Shahih al-Musamma Shahih Muslim (Beirut: Dar al-Jil dan Dar al-Afaq al-Jadidah, tt., v. 5), hlm. 162, No. Hadits. 4701.
No comments:
Post a Comment