29 August 2016

KEWAJIBAN ITTIBA’ KEPADA RASULULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM (1)

Agama Islam yang mulia ini dibangun di atas dua prinsip.

Pertama : Kita tidak boleh beribadah, melainkan hanya kepada Allah saja dan tidak mempersekutukanNya dengan sesuatu apapun.

Allah berirman :

قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَىٰ كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِّن دُونِ اللَّهِ ۚ فَإِن تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ

Katakanlah : “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun, dan tidak (pula) sebagian menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah”. Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka : “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”. [Ali Imran : 64].

Dalam ayat ini, Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyampaikan kepada Ahlul Kitab :

1. Agar mereka kembali kepada kalimat yang sama. Di dalam Taurat dan Injil, manusia diperintahkan untuk beribadah hanya kepada Allah saja, tidak kepada yang lain. Inilah kalimat yang sama, yang dibawa dan diserukan oleh seluruh nabi dan rasul yang Allah utus ke muka bumi ini, yaitu mentauhidkan Allah.

2. Kita tidak boleh mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun juga. Para nabi, mulai dari Nuh hingga Muhammad, dari Adam hingga Muhammad, semua mengajarkan kepada tauhid dan melarang dari perbuatan syirik. Allah Azza wa Jalla berfirman :

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ ۖ فَمِنْهُم مَّنْ هَدَى اللَّهُ وَمِنْهُم مَّنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلَالَةُ ۚ فَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ

Dan sesungguhnya kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu,” maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah, bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)”. [an Nahl : 36].

وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ

Dan tidak Kami utus kepada kalian seorang rasul, kecuali Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada ilah yang wajib diibadahi dengan benar kecuali hanya Aku, maka sembahlah Aku. [al Anbiyaa’: 25].

3. Tidak boleh pula, sebagian menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka : “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang Islam”. Dalam ayat yang lain disebutkan :

وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا

Dan Rabb-mu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia, dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya, atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah”, dan janganlah kamu membentak mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. [al Isra` : 23].

Kedua : Kita tidak boleh beribadah melainkan dengan apa yang telah Allah syariatkan di dalam kitabNya, atau yang telah disyariatkan dalam Sunnah NabiNya yang terpelihara, tidak dengan bid’ah dan tidak dengan hawa nafsu.
Allah berfirman:

 وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya. [al Hasyr : 7]. [1]

Ayat-ayat al Qur`an yang menjelaskan tentang wajibnya ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangatlah banyak. Menurut Imam Ahmad, ada 33 ayat. Sedangkan menurut Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatawa (XIX/83), bahwa Allah telah mewajibkan taat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada sekitar 40 ayat dalam a Qur`an.

Kita perlu membahas masalah ittiba’ karena masalah ini sangat penting, sudah banyak dilalaikan (diabaikan) oleh kaum Muslimin dan juga oleh para da’i. Baik ittiba’ dalam masalah aqidah, syariah (ibadah), akhlaq, dakwah, siyasah syar’iyyah, maupun yang lainnya. Karena dengan ittiba’, Allah menjamin kebahagiaan, kemenangan dan surga. Allah akan menjadikan kebinasaan, kehinaan, kerendahan, kehancuran bagi orang-orang yang tidak ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ayat-ayat mulia dalam al Qur`an al Azhim yang berkenaan dengan ittiba`, di antaranya :

1. Allah Azza wa Jalla berfirman:

قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Katakanlah : “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. [ali Imran : 31].

Imam Ibnu Katsir rahimahullah (wafat th. 774 H) berkata,”Ayat ini sebagai pemutus hukum bagi setiap orang yang mengaku mencintai Allah namun tidak mau menempuh jalan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka orang tersebut dusta dalam pengakuannya, sampai dia mengikuti syari’at dan agama yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam semua ucapan dan perbuatannya. Sebagaimana terdapat dalam Shahih Bukhari dan Muslim, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa yang beramal tanpa adanya tuntunan dari kami, maka amalan tersebut tertolak.[2]

Karena itu Allah berfirman “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosamu”. Kalian akan mendapatkan apa yang kalian minta, dari kecintaan kalian kepadaNya, yaitu kecintaan Allah kepada kalian, dan ini lebih besar daripada yang pertama, sebagaimana yang diucapkan oleh para ulama. Yang penting adalah, bukan bagaimana kalian mencintai, akan tetapi bagaimana kalian dicintai oleh Allah.

Yang pertama kita mencintai Allah dan yang kedua Allah mencintai kita. Menurut al Hafizh Ibnu Katsir, bahwa Allah mencintai kita itulah yang paling besar, bagaimana supaya kita bisa dicintai oleh Allah. Setiap kita bisa mencintai, namun tidak setiap kita bisa dicintai. Syarat untuk dapat dicintai oleh Allah adalah dengan ittiba` kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Imam Hasan Basri dan ulama salaf lainnya mengatakan, sebagian manusia mengatakan mencintai Allah, maka Allah menguji mereka dengan ayat ini. Orang-orang munafik mengucapkan cinta kepada Allah dan RasulNya, namun hatinya tidak demikian, karena mereka tidak mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. [Tafsir Ibnu Katsir, I/384, Cet. Daarus Salaam, Th. 1413 H].

Ayat ini mengandung fadhilah (keutamaan) jika kita mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yaitu Allah akan mencintai kita, dan Allah akan mengampuni dosa-dosa kita.

2. Allah Azza wa Jalla berfirman:

قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ ۖ فَإِن تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ

Katakanlah : “Taatilah Allah dan RasulNya. Jika kalian berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang kafir’’. [Ali Imran : 32].

Ayat ini mengandung makna, jika seseorang menyalahi perintah RasulNya atau tidak berittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia telah kufur; dan Allah tidak menyukai orang yang memiliki sifat demikian, meskipun dia mengaku dan mendakwahkan kecintaannya kepada Allah, sampai ia mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seluruh jin dan manusia wajib untuk ittiba` kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, hingga seandainya Nabi Musa ditakdirkan hidup pada zaman Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia pun wajib ittiba’ kepada Nabi Muhammad. Demikian juga dengan Nabi Isa ketika turun ke bumi pada akhir zaman nanti, maka Nabi Isa wajib ittiba` kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Demikian ini menunjukkan, bahwa seluruh manusia wajib ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Katsir,”Dan Rasulullah n diutus untuk seluruh makhlukNya, baik golongan jin dan manusia. Kalau seandainya seluruh nabi dan rasul, bahkan seluruh Ulul ’Azmi dari para rasul, mereka hidup pada zaman Rasulullah n, maka mereka wajib ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengikuti syariat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [Tafsir Ibnu Katsir, I/384].

Sebagaimana yang terjadi pada zaman Umar bin Khaththab, ketika itu beliau Radhiyallahu ‘anhu memegang dan membaca lembaran Taurat, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

أَمُتَهَوِّكُوْنَ فِيْهَا يَا ابْنَ الْخَطَّابِ ؟ وَ الَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ ، لَقَدْ جِئْتُكُمْ بِهَا بَيْضَاءَ نَقِيَّةًً ، لاَ تَسْأَلُوْهُمْ عَنْ شَيْءٍ فَيُخْبِرُوْكُمْ بِحَقٍّ فَتُكَذِّبُوْا بِهِ ، أَوْ بِبَاطِلٍ فَتُصَدِّقُوْا بِهِ ، وَ الَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ ، لَوْ أَنَّ مُوْسَى كَانَ حَيّاً مَا وَسِعَهُ إِلاَّأَنْ يَتَّبِعَنِيْ

“Apakah engkau merasa ragu, wahai Umar bin Khaththab? Demi yang diri Muhammad ada di tangan Allah, sungguh aku telah membawa kepada kalian agama ini dalam keadaan putih bersih. Janganlah kalian tanya kepada mereka tentang sesuatu, sebab nanti mereka kabarkan yang benar, namun kalian mendustakan. Atau mereka kabarkan yang bathil, kalian membenarkannya. Demi yang diri Muhammad berada di tanganNya, seandainya Nabi Musa itu hidup, maka tidak boleh bagi dia, melainkan harus mengikuti aku”. [HR Ahmad, III/387; ad Darimi, I/115; dan Ibnu Abi ‘Ashim dalam Kitabus Sunnah, no. 50, dari sahabat Jabir bin Abdillah. Dan lafazh ini milik Ahmad. Derajat hadits ini hasan, karena memiliki banyak jalur yang saling menguatkan. Lihat Hidayatur Ruwah, I/136 no. 175]
.
Hadits ini memuat kandungan :
• Wajib bagi para nabi untuk ittiba’ kepada Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seandainya mereka hidup pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

• Jika para nabi saja wajib berittiba’ kepada Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam,, maka terlebih lagi bagi kaum muslimin, mereka harus berittiba` kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,.

• Umar yang tidak diragukan keimanannya dan dijamin pasti masuk surga, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetap menegur ketika beliau Radhiyallahu ‘anhu memegang kitab Taurat.

• Hendaknya kita lebih mengutamakan untuk mempelajari al Qur`an dan as Sunnah, memahami dan mengamalkannya, siang dan malam. Adapun untuk membantah Ahlul Kitab, cukup dengan al Qur`an, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan para sahabatnya. Bagi mereka yang telah hafal dan memahami al Qur`an dengan benar, maka boleh bagi mereka membantah Ahlul Kitab dengan tujuan untuk mengajak mereka masuk ke dalam agama yang selamat ini, bukan dengan tujuan supaya dikatakan bahwa dia hebat, dapat mengalahkan orang lain, untuk berbangga diri. Namun tujuan kita dibolehkan mendebat mereka, agar mereka mendapatkan hidayah (masuk ke dalam Islam).

Allah berfirman :

وَلَا تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِلَّا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ ۖ وَقُولُوا آمَنَّا بِالَّذِي أُنزِلَ إِلَيْنَا وَأُنزِلَ إِلَيْكُمْ وَإِلَٰهُنَا وَإِلَٰهُكُمْ وَاحِدٌ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ

Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zhalim di antara mereka, dan Katakanlah: “Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami hanya kepadaNya berserah diri”. [al Ankabuut:46].

3. Allah berfirman:

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Maka demi Tuhan-mu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. [an Nisaa’ : 65].
Kandungan ayat :

• Seseorang tidak dikatakan beriman, sehingga mereka menjadikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai hakim terhadap apa-apa yang diperselisihkan di antara sesama manusia.

• Diantara ciri-ciri orang yang beriman, mereka tidak merasa keberatan (kesempitan) terhadap apa yang telah ditetapkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka menerima keputusan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan lapang dada.

• Orang yang beriman tunduk kepada keputusan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan setunduk-tunduknya.

• Syaikh Abdurrahman Nashir bin as Sa’di menjelaskan, bahwa di sini, tahkim (menjadikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai hakim), kedudukannya sama dalam Islam. Menghilangkan kesempitan hati dalam menerima putusan hukum, kedudukannya sama dengan iman. Dan taslim (tunduk) kepada keputusan tersebut, kedudukannya sama dengan ihsan. [Taisir al Kariim ar Rahman fi Tafsir Kalamil Mannaan, hlm. 149, Cet. Mu’assasah ar Risalah, Th. 1417 H]

4. Allah Azza wa Jalla berfirman:

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Maka hendaklah (berhati-hati) orang-orang yang menyalahi perintah Rasulullah, takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. [an Nuur : 63].

Al Hafizh Ibnu Katsir menerangkan: “Menyalahi perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu menyalahi jalan hidup beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, manhaj (cara beragama), sunnah, syariatnya. Maka seluruh perkataan dan seluruh amal, harus ditimbang dengan perkataan dan perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apa yang sesuai dengan perkataan dan perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka akan diterima oleh Allah. Dan apa yang tidak sesuai dengan perkataan dan perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka akan ditolak oleh Allah, siapapun yang melakukan perkataan dan perbuatan itu, serta apapun perkataan dan perbuatan itu. Meskipun dia ulama, atau seorang yang alim, jika perkataan dan perbuatannya menyelisihi perkataan dan perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia wajib ditolak dengan dasar hadits, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa yang beramal tanpa adanya tuntunan dari kami, maka amalan tersebut tertolak.

Hendaknya berhati-hati orang yang menyelisihi syariat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara lahir dan batin. Mereka akan ditimpa fitnah di dalam hatinya, berupa kekufuran, kemunafikkan dan bid’ah, atau ditimpa dengan fitnah di dunia dengan dibunuh, diberi hukuman haad, dipenjara atau yang lainnya.

Yang dimaksud “menyalahi perintah” adalah, menyelisihi sunnah, jalan, manhaj, syariat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semua perkataan dan perbuatan kita, harus ditimbang dengan perkataan dan perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Orang yang tidak berittiba’ kepada Rasulullah n, mengingkarinya dan menolaknya, akan terjatuh pada kekufuran, baik kufur yang besar (akbar) ataupun kufur yang kecil (ashghar), atau kemunafikan, atau bid’ah; dan ini merupakan pengaruh dari perbuatan dosa dan maksiat; maksiat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki pengaruh yang besar terhadap hati manusia, berupa kekufuran, kemunafikan, bid’ah; atau fitnah yang besar di dunia, yaitu berupa ancaman dibunuh, diberi hukuman had ataupun di penjara oleh Ulil Amri. [Tafsir Ibnu Katsir, III/338].

5. Allah Azza wa Jalla berfirman:

لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) Hari Kiamat, dan dia banyak menyebut Allah. [al Ahzaab : 21].

Al Hafizh Ibnu Katsir mengatakan,”Ayat yang mulia ini sebagai prinsip yang besar untuk mencontoh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik perkataan, perbuatan dan segala keadaan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik berupa aqidah, syariah atau ibadah, akhlaq, dakwah, politik atau yang lainnya. Kita wajib berittiba’, tidak hanya dalam hal ibadah atau akhlaq beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam saja, akan tetapi harus menyeluruh.” [Tafsir Ibnu Katsir, III/522].

6. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَن يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُّبِينًا

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan RasulNya, maka sungguhlah dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata. [al Ahzaab: 36].

Ayat ini berlaku umum untuk seluruh kaum Mukminin terhadap setiap urusan mereka. Jika Allah dan RasulNya telah memutuskan suatu ketetapan, maka wajib baginya untuk mendengar dan taat.

Oleh

Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun X/1427H/2006M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Dinukil dari Iqtidha’ ash Shirathul Mustaqiim (II/373); al Qaulul Mufid fi Adillatit Tauhid, halaman 179 dengan sedikit tambahan.
[2]. HR Bukhari no. 2697, Muslim no. 1718, Abu Dawud no. 4606 dan Ibnu Majah no. 14 dari hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha
[3]. HR Bukhari no. 2697, Muslim no. 1718, Abu Dawud no. 4606 dan Ibnu Majah no. 14 dari hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha

No comments:

Post a Comment