11 August 2016

HARAMNYA MUZIK

Oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas حفظه الله

Diriwayatkan dari ‘Abdurrahman bin Ghanm al-Asy’ari, dia berkata, “Abu ‘Amir atau Abu Malik al-Asy’ari Radhiyallahu anhu telah menceritakan kepadaku, demi Allâh, dia tidak berdusta kepadaku, dia telah mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَـيَـكُوْنَـنَّ مِنْ أُمَّـتِـيْ أَقْوَامٌ يَـسْتَحِلُّوْنَ الْـحِرَ ، وَالْـحَرِيْرَ ، وَالْـخَمْرَ ، وَالْـمَعَازِفَ. وَلَيَنْزِلَنَّ أَقْوَامٌ إِلَـى جَنْبِ عَلَمٍ يَرُوْحُ عَلَيْهِمْ بِسَارِحَةٍ لَـهُمْ ، يَأْتِيْهِمْ –يَعْنِيْ الْفَقِيْرَ- لِـحَاجَةٍ فَيَـقُوْلُوْنَ : ارْجِعْ إِلَيْنَا غَدًا ، فَـيُـبَـيِـّـتُـهُـمُ اللهُ وَيَـضَعُ الْعَلَمَ وَيَـمْسَـخُ آخَرِيْنَ قِرَدَةً وَخَنَازِيْرَ إِلَـى يَوْمِ الْقِيَامَةِ.

‘Sungguh, benar-benar akan ada di kalangan ummatku sekelompok orang yang menghalalkan kemaluan (zina), sutera, khamr (minuman keras), dan alat-alat musik. Dan beberapa kelompok orang sungguh akan singgah di lereng sebuah gunung dengan binatang ternak mereka, lalu seseorang mendatangi mereka -yaitu orang fakir- untuk suatu keperluan, lalu mereka berkata, ‘Kembalilah kepada kami besok hari.’ Kemudian Allâh mendatangkan siksaan kepada mereka dan menimpakan gunung kepada mereka serta Allâh mengubah sebagian dari mereka menjadi kera dan babi sampai hari Kiamat.’

TAKHRIJ HADITS:

Hadits ini diriwayatkan oleh:
1. al-Bukhâri secara mu’allaq[1] dengan lafazh jazm (pasti) dalam Shahîh-nya (no. 5590). Lihat Fat-hul Bâri (X/51),
2. Ibnu Hibbân (no. 6719-at-Ta’lîqâtul Hisân),
3. al-Baihaqi dalam Sunan-nya (X/221),
4. Abu Dawud dalam Sunan-nya (no. 4039).

Hadits ini SHAHÎH. Karena beberapa imam ahli hadits menghukumi hadits ini shahîh, diantaranya :
1. Dishahîhkan oleh al-Bukhâri, Ibnu Hibban, al-Barqani,[2] dan Abu ‘Abdillah al-Hâkim.[3]
2. Ibnush Shalâh rahimahullah berkata, “Hadits ini shahîh.”[4]
3. Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata mengenai hadits ini, “Apa yang diriwayatkan oleh al-Bukhâri adalah shahîh.”[5]
4. Dishahîhkan juga oleh al-Isma’ili[6] dan Abu Dzarr al-Harawi.[7]
5. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Hadits ini shahîh.”[8]
6. an-Nawawi rahimahullah berkata, “Hadits ini shahîh.”[9]
7. Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah mengatakan, “Maka hadits ini adalah shahîh.”[10]
8. Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Hadits ini shahîh, tidak ada cacat dan celaan padanya.”[11]
9. asy-Syaukani rahimahullah berkata, “Hadits ini shahîh, diketahui sanadnya yang bersambung berdasarkan syarat ash-Shahîh.”[12]
10. Dan ad-Dahlawi mengatakan, “(Sanadnya) bersambung dan shahîh.”[13]

Untuk mengetahui penjelasan hadits-hadits yang berkaitan dengan masalah musik dan nyanyian dapat dilihat dalam kitab Tahrîm Âlâtith Tharb karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albâni rahimahullah dan risalah Magister berjudul Ahâdîtsul Ma’âzîfi wal Ghinâ’ Dirâsatan Hadîtsiyyatan Naqdiyyatan (hlm. 58), karya Dr. Muhammad ‘Abdul Karim ‘Abdurrahman.

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albâni rahimahullah juga membawakan nama-nama para Ulama ahli hadits yang menshahîhkan hadits ini dalam Tahrîm Âlâtith Tharb (hlm. 89).

Ibnu Hazm rahimahullah (wafat th. 456 H) dan Muhammad bin Thahir al-Maqdisi rahimahullah (wafat th. 507 H) mendha’îfkan hadits ini karena menyangka ada cacat dalam hadits ini, yaitu sanadnya terputus antara al-Bukhâri dan Hisyâm bin ‘Ammar dan juga shahabat yang ada dalam hadits ini (yaitu Abu ‘Amir atau Abu Malik) tidak dikenal. Padahal para Imam ahli hadits yang lainnya telah menyatakan bahwa sanad hadits ini bersambung, di antara mereka adalah Ibnu Hibbân rahimahullah dalam Shahîhnya, ath-Thabrani rahimahullahdalam al-Mu’jamul Kabîr, dan selain keduanya. Selain itu, Hisyâm bin ‘Ammar termasuk guru Imam al-Bukhâri. Adapun shahabat Rasûlullâh Abu ‘Amir atau Abu Malik yang dikenal, maka kita katakan bahwa seluruh shahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah adil, sebagaimana telah menjadi kesepakatan kaum Muslimin.

Pada saat membantah Muhammad al-Ghazali (Mesir) yang taklid kepada Ibnu Hazm dalam hal ini, Syaikh al-Albâni t mengatakan, “Dia (al-Ghazali) tidak mengetahui bahwa Hisyâm bin ‘Ammar termasuk guru Imam al-Bukhâri. Sehingga perkataan al-Bukhâri, “Telah berkata Hisyâm bin ‘Ammar.’’ bukanlah sekedar ta’lîq (adanya pemisah antara al-Bukhâri dengan Hisyâm) bahkan sebenarnya muttashil (bersambung) karena bagi Imam al-Bukhâri tidak ada beda antara perkataannya, “Hisyâm telah berkata,” atau “Hisyâm telah mengabarkan kepadaku.”[14]

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tidak ada upaya yang dilakukan oleh orang-orang yang menganggap cacat hadits di atas -seperti Ibnu Hazm- untuk mempertahankan pendapatnya yang bathil tentang dibolehkannya nyanyian dan musik. Dia menyangka hadits itu tidak sah, karena munqathi’ (terputus sanadnya) karena al-Bukhâri -katanya- tidak memiliki sanad yang bersambung dalam hal hadits di atas !

Untuk menjawab kekeliruan ini sebagai berikut :
1. Telah disepakati bahwa al-Bukhâri telah bertemu Hisyâm bin ‘Ammar dan mendengar (hadits) darinya. Sehingga apabila al-Bukhâri berkata, ‘Hisyâm telah berkata,’ maka kedudukan perkataan itu sama dengan, ‘Dari Hisyâm.’”

2. Jika al-Bukhâri tidak mendengar (langsung) hadits ini dari Hisyâm, maka dia tidak akan membolehkan dirinya untuk memastikan bahwa riwayat ini darinya, kecuali kalau telah shahîh bahwa Hisyâm (benar-benar) telah meriwayatkan hadits ini. Hal ini (keberanian seorang rawi untuk menyatakan bahwa seorang syaikh telah meriwayatkan sebuah hadits padahal dia tidak mendengar langsung dari syaikh tersebut-pen) -biasanya- karena banyaknya orang yang meriwayatkan hadits itu dari syaikh tersebut dan karena masyhur (terkenal)nya hal tersebut. Dan al-Bukhâri adalah makhluk Allâh yang paling jauh dari penipuan.

3. Bahwasanya al-Bukhâri telah memasukkan hadits tersebut dalam kitabnya yang terkenal dengan ash-Shahîh, dengan berhujjah (berargumen) dengannya, seandainya hadits itu bukan hadits shahîh, tentu beliau tidak akan melakukan yang demikian.

4. al-Bukhâri memberikan ta’lîq (lafazh yang menunjukkan terputusnya sanad-pen) dalam hadits itu dengan ungkapan yang menunjukkan jazm (kepastian), tidak dengan ungkapan yang menunjukkan tamrîdh (cacat). Dan bahwasanya jika beliau bersikap tawaqquf (tidak berpendapat) dalam suatu hadits atau hadits itu tidak atas dasar syaratnya maka beliau akan mengatakan, ‘Diriwayatkan dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,’ dan juga dengan ungkapan, ‘Disebutkan dari beliau,’ atau dengan ungkapan yang sejenisnya. Tetapi jika beliau berkata, ‘Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,’ maka berarti dia telah memastikan bahwa hadits itu disandarkan kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

5. Seandainya kita mengatakan berbagai dalil di atas tidak ada artinya, maka cukuplah bagi kita bahwa hadits tersebut shahîh dan muttashil (bersambung sanadnya) menurut perawi hadits yang lain.”

Berikut ini penjelasan para Ulama hadits tentang Hisyâm bin ’Ammar, di antaranya:
• Imam Yahya bin Ma’in rahimahullah berkata, ”Tsiqah.”[16]
• Imam al-Bukhâri rahimahullah mentsiqahkannya karena beliau berhujjah dengannya di kitab Shahîhnya.
• Imam Ahmad al-’Ijli rahimahullah berkata, ”Hisyâm bin ’Ammar ad-Dimasyqi tsiqah shadûq (terpercaya, jujur).”[17]
• Imam an-Nasâi rahimahullah berkata, ”Lâ ba’sa bihi (tidak mengapa dengannya).”[18]
• Hisyâm bin ’Ammar rahimahullah merupakan salah seorang Ulama yang berpegang teguh dengan al-Qur’ân dan as-Sunnah. al-Hâfizh Ahmad bin ’Abdullah al-Khazraji rahimahullah berkata, ”Hisyâm bin ’Ammar as-Sulami Abul Walid ad-Dimasyqi al-Muqri al-Hafizh al-Khathiib. Meriwayatkan dari Mâlik, al-Jarrah bin Malih, dan Yahya bin Hamzah dan banyak Ulama…”[19]

Beliau juga berkata dalam Siyar A’lâmin Nubalâ, ”Hisyâm bin ’Ammar…seorang Imam al-Hâfizh al-’Allâmah al-Muqri, Ulama penduduk Syam… khathîb penduduk Dimasyqa (Damaskus).”[20]

Beliau juga berkata dalam kitab al-’Ibar fii Khabari man Ghabar, ”Hisyâm bin ’Ammar…khathîb, qâri’, ahli fiqih, dan muhaddits penduduk Dimasyqa… dua orang Syaikh (guru) dari para Syaikhnya telah meriwayatkan darinya –karena dia memiliki kedudukan yang tinggi–.”[21]

Hadits ini secara jelas dan tegas mengharamkan al-ma’âzif –yaitu alat-alat musik-, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa akan ada suatu kaum diantara umatnya yang menganggap halal apa yang telah diharamkan Allâh Azza wa Jalla atas mereka berupa zina, sutra, khamr, dan alat-alat musik.

KOSA KATA HADITS:
اَلْحِرُ (berzina): yaitu kemaluan, asalnya adalah حِرْحٌ , yang jamaknya adalah أَحْرَاحٌ.
اَلْمَعَازِفُ : Rebana dan sejenisnya yang ditabuh, sebagaimana dalam an-Nihâyah. Dalam al-Qâmûs, al-Ma’azif yaitu alat-alat musik seperti seruling dan mandolin. Bentuk tunggalnya adalah عُزْفٌ atau مِعْزَفٌ, seperti kata مِنْبَرٌ dan مِكْنَسَةٌ. Al-‘Aazif adalah orang yang memainkan alat musik dan juga penyanyi. Oleh sebab itu Ibnul Qayyim t dalam Ighâtsatul Lahfân menyebutkan, “Artinya adalah alat-alat musik seluruhnya, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ahli bahasa Arab dalam masalah ini.”[23]

Ucapan itu lebih diperjelas lagi oleh adz-Dzahabi dalam as-Siyar (XXI/158), “al-Ma’âzif adalah nama bagi semua alat musik yang dimainkan seperti seruling, mandolin, clarinet, dan simbal.”[24]

SYARAH HADITS
Hadits ini merupakan hadits yang paling agung dan paling jelas dalam pengharaman lagu dan musik. Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albâni rahimahullah ketika menjelaskan hadits ini mengatakan, “Pelajaran yang dapat diambil dari hadits tersebut adalah:

Pertama : Diharamkannya khamr (minuman keras).

Kedua : Diharamkannya alat musik. Riwayat al-Bukhâri menunjukkan hal itu sebagaimana terlihat dari beberapa segi berikut :

1. Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Yastahillûna (Mereka menganggap halal)”

Dari ungkapan ini, jelas sekali bahwa semua yang disebutkan dalam hadits di atas, hukum asalnya adalah haram menurut syari’at. Dan diantara yang disebutkan dalam hadits tersebut adalah alat-alat musik yang kemudian dihalalkan oleh sekelompok orang.

2. Haramnya musik diiringi dengan sesuatu yang sudah pasti keharamannya, yaitu zina dan khamr. Kalaulah alat-alat musik itu tidak haram, tentunya tidak akan diiringi dengan (penyebutan) zina dan khamr, insyaa Allâh.

Ada banyak hadits, yang sebagiannya shahîh, yang menerangkan tentang haramnya berbagai alat musik yang terkenal ketika itu seperti gendang, al-qanûn (sejenis alat musik yang menggunakan senar), dan lain-lain. Dan tidak ada seorang pun yang menyalahi tentang haramnya musik atau yang mengkhususkannya. Alat musik yang boleh hanyalah duff (rebana tanpa kerincingan) saja, dan itu pun dibolehkan hanya pada waktu acara pernikahan dan ‘Ied (hari raya). Dibolehkan dengan ketentuan yang rinci dalam kitab-kitab fiqih. Dan saya (Syaikh al-Albani) telah sebutkan (rinciannya) dalam buku bantahan terhadap Ibnu Hazm.[25] Oleh karena itu, empat Imam Madzhab telah sepakat tentang haramnya semua jenis alat musik.

Ada di antara mereka yang mengecualikan gendang (drumb band) untuk perang dari sebagian orang pada zaman ini dan membolehkan musik kemiliteran. Namun pendapat ini tidak benar karena beberapa alasan berikut :

a. Diantara hadits-hadits yang menjelaskan keharamannya itu, tidak ada satu pun hadits yang mengkhususkan atau membolehkannya. Mereka yang membolehkan hanya berdasarkan ra’yu (pendapat) semata dan menganggap baik hal itu. Pendapat yang membolehkan alat-alat musik adalah bathil.

b. Kewajiban kaum Muslimin ketika mereka berperang adalah hendaklah mereka menghadapkan hati mereka kepada Allâh dan memohon agar Allâh menolong mereka untuk mengalahkan orang-orang kafir. Itu akan membawa kepada ketenangan jiwa dan mengikat hati mereka. Adapun penggunaan alat-alat musik sudah pasti akan merusak dan akan memalingkan mereka dari dzikrullah (berdzikir kepada Allâh), sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا لَقِيتُمْ فِئَةً فَاثْبُتُوا وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu bertemu pasukan (musuh) maka berteguh hatilah dan sebutlah (Nama) Allâh banyak-banyak (berdzikir dan berdo’a) agar kamu beruntung. [al-Anfâl/8:45].

c. Menggunakan alat-alat musik termasuk kebiasaan orang-orang kafir. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلَا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّىٰ يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ

” … orang-orang yang tidak beriman kepada Allâh dan hari kemudian, mereka yang tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan Allâh dan Rasul-Nya, dan mereka yang tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allâh )…” [at-Taubah/9:29]

Kaum Muslimin tidak boleh menyerupai mereka, lebih-lebih menyerupai dalam hal-hal yang diharamkan Allâh Azza wa Jalla kepada kita dengan pengharaman yang umum, contohnya adalah musik.

Janganlah Anda tertipu dengan pendapat yang Anda dengar dari orang-orang sekarang yang dikenal sebagai seorang yang sok ahli fiqih yang menghalalkan musik. Mereka –demi Allâh – berfatwa dengan taklid dan mereka lebih membela hawa nafsu manusia. Mereka taklid kepada Ibnu Hazm t yang keliru dalam masalah ini–mudah-mudahan Allâh mengampuni kita dan dia–karena menganggap hadits Abu Mâlik tidak sah. Padahal hadits itu sudah jelas shahîh. Mengapa mereka (orang-orang yang membolehkan nyanyian dan musik) tidak mengikuti empat Imam Madzhab yang lebih paham, lebih ‘alim dalam agama, lebih banyak pengikutnya, dan lebih kuat hujjah (dalil)nya ?!

Ketiga : Bahwa Allâh Azza wa Jalla akan menyiksa sebagian orang fasiq dengan siksaan yang kongkrit di dunia, yaitu akan diubah bentuk mereka -kemudian akal mereka- seperti binatang ternak.

al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani t berkata dalam Fat-hul Bâri (X/49) tentang hadits ini, “Ibnul ‘Arabi mengatakan, ‘Perubahan bentuk bisa bermakna hakiki sebagaimana yang telah menimpa ummat-ummat terdahulu, dan bisa juga bermakna kinâyah (kiasan) yaitu perubahan akhlak mereka.’ Aku (Ibnu Hajar) menjawab, ‘Yang benar adalah makna yang pertama (yakni akan diubah bentuknya secara hakiki) karena itulah yang sesuai dengan redaksi hadits.”

Aku (Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah) berpendapat bahwa tidak menutup kemungkinan untuk menggabungkan kedua pendapat tersebut –sebagaimana telah kami sebutkan–. Bahkan (penggabungan) itulah yang dapat difahami langsung dari kedua hadits. Wallaahu a’lam.”[26]

Penjelasan Para Shahabat Tentang Haramnya Lagu dan Musik
1. ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma (wafat th. 73 H)
Beliau Radhiyallahu anhuma pernah melewati sekelompok orang yang sedang melakukan ihrâm, dan diantara mereka ada seorang yang bernyanyi, maka beliau Radhiyallahu anhuma berkata, “Ingatlah, semoga Allâh tidak mendengarkan (do’a-do’a-red) kamu.”[27]

2. Abdullah bin ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma (wafat th. 68 H).
Beliau berkata, “Rebana haram, al-ma’âzif (alat-alat musik) haram, al-kûbah (bedug atau gendang, dan yang sejenisnya) haram, dan seruling haram.”[28]

Penjelasan dan Pendapat Para Ulama Salaf Tentang Haramnya Nyanyian dan Musik
1. Khalifah ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz rahimahullah (wafat th. 101 H).
Beliau t menulis surat kepada guru anaknya, “Hendaklah yang pertama kali diyakini anak-anakku dari akhlakmu adalah membenci alat-alat musik, sesuatu yang dimulai dari setan, dan akibatnya ialah mendapatkan kemurkaan dari Allâh Yang Maha Pengasih. Karena sesungguhnya telah sampai kepadaku dari para Ulama yang terpercaya bahwa menghadiri alat-alat musik dan mendengarkan nyanyian-nyanyian serta menyukainya akan menumbuhkan kemunafikan dalam hati, sebagaimana air menumbuhkan rerumputan. Demi Allâh, sesungguhnya menjaga hal itu dengan tidak mendatangi tempat-tempat tersebut lebih mudah bagi orang yang berakal daripada bercokolnya kemunafikan dalam hati.”[29]

2. Imam al-Âjurri rahimahullah (wafat th. 360 H)
Beliau mengharamkan nyanyian dan alat-alat musik dalam kitabnya, Tahrîmun Nard wasy Syatranj wal Malâhiy. Beliau rahimahullah berkata, “(Nyanyian itu) haram dilakukan dan haram mendengarkan-nya berdasarkan dalil dari Kitabullâh, Sunnah-Sunnah Rasûlullâh, perkataan para Shahabat Radhiyallahu anhum , dan perkataan mayoritas para Ulama kaum Muslimin…”[30]

3. Imam Abu Bakar bin Walid ath-Thurtusyi al-Fikri rahimahullah (wafat th. 520H)
Beliau rahimahullah adalah salah seorang Ulama pembesar madzhab Maliki rahimahullah . Dalam muqaddimah kitabnya, Tahrîmus Sama’, beliau berkata, “…Kemudian bertambah banyak kebodohan, sedikit ilmu, dan perkara saling kontradiksi sehingga di kalangan kaum Muslimin ada yang melakukan maksiat dengan terang-terangan, kemudian semakin lama mereka bertambah jauh hingga sampai kepada kami bahwa ada sekelompok saudara kami dari kaum Muslimin -mudah-mudahan Allâh Azza wa Jalla memberikan petunjuk kepada kami dan mereka- yang telah digelincirkan oleh setan dan telah sesat cara berfikirnya. Mereka senang kepada nyanyian dan permainan yang sia-sia. Mereka mendengarkan nyanyian dan musik serta menganggap hal itu sebagai bagian dari agama yang dapat mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla . Mereka telah menentang kaum Muslimin (para shahabat dan tabi’in). Mereka telah menyimpang dari jalannya kaum Mukminin, dan telah menyalahi para fuqâhâ’ (para ahli fiqih) dan para Ulama pengemban risalah agama. (Allâh Azza wa Jalla berfirman) :

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

Dan barangsiapa menentang Rasul (Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin, Kami biarkan dia dalam kesesatan yang telah dilakukannya itu dan Kami akan masukkan dia ke dalam Neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.’ [ an-Nisâ’/4:115].”[31]

4. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (wafat th. 728 H)
Beliau rahimahullah mengatakan, “Empat Imam Madzhab berpendapat bahwa semua alat musik adalah haram. Telah ada hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh al-Bukhâri dan Ulama lainnya bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan akan adanya orang-orang dari ummatnya yang menghalalkan zina, sutra, minum khamr, dan alat-alat musik serta mereka akan diubah menjadi kera dan babi. al-Ma’âzif adalah alat-alat musik sebagaimana yang disebutkan oleh para pakar bahasa Arab, bentuk jamak dari ma’zifah, yaitu alat yang dibunyikan. Dan tidak ada perselisihan sedikit pun dari pengikut para imam (tentang haramnya alat musik).”[32]

Beliau rahimahullah mengatakan, “al-Ma’âzif (alat-alat musik) adalah khamr bagi jiwa. Dia bereaksi dalam jiwa lebih hebat daripada reaksi arak. Apabila mereka telah mabuk dengan nyanyian, mereka bisa terkena kesyirikan, condong kepada perbuatan keji dan zhalim sehingga mereka pun berbuat syirik, membunuh jiwa yang diharamkan Allâh Azza wa Jalla dan berzina.”[33]

Beliau rahimahullah juga mengatakan, “Adapun sama’ (mendengarkan) yang mencakup kemungkaran-kemungkaran agama, maka orang yang menganggapnya sebagai amalan qurbah (pendekatan diri kepada Allâh Azza wa Jalla ), ia harus disuruh bertaubat, bila mau bertaubat (maka diterima taubatnya), jika tidak bertaubat, ia dibunuh. Apabila ia adalah orang yang mentakwil atau tidak tahu, maka dia harus diberi penjelasan tentang kesalahan takwilnya itu, dan dijelaskan kepadanya ilmu yang dapat menghilangkan kebodohannya. Dalam Shahîh al-Bukhâri dan selainnya disebutkan bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan orang-orang yang menganggap halal kemaluan (zina), sutra, khamr, dan alat-alat musik dalam konteks celaan atas mereka dan bahwa Allâh akan menghukum mereka. Maka hadits ini menunjukkan haramnya alat-alat musik. Menurut pakar bahasa Arab, al-Ma-’aazif adalah alat-alat yang membuat lalai, dan nama ini mencakup semua alat-alat musik yang ada.”[34]

5. Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah (wafat th. 751 H).
Beliau rahimahullah mengatakan, “Diantara perangkap dan tipu daya musuh Allâh Azza wa Jalla , yang menyebabkan orang yang sedikit ilmu dan agamanya terpedaya, serta menyebabkan hati orang-orang bodoh dan pelaku kebathilan terperangkap adalah mendengarkan tepuk tangan, siulan, dan nyanyian dengan alat-alat yang diharamkan, yang menghalangi hati dari al-Qur’ân dan menjadikannya menikmati kefasikan dan kemaksiatan. Nyanyian adalah qur-annya setan dan dinding pembatas yang tebal dari ar-Rahman. Ia adalah mantra homoseksual dan zina. Dengannya orang fasik yang mabuk cinta mendapatkan puncak harapan dari orang yang dicintainya. Dengan nyanyian ini, setan memperdaya jiwa-jiwa yang bathil, ia menjadikan jiwa-jiwa itu –melalui tipu daya dan makarnya– menganggap nyanyian itu baik. Lalu, ia juga meniupkan syubhat-syubhat (argumen-argumen) bathil sehingga ia tetap menganggapnya baik dan menerima bisikannya, dan karenanya ia menjauhi al-Qur’ân…”[35]

Satu hal yang sangat mengherankan yaitu sebagian orang bernyanyi, berdansa, dan bergoyang dalam rangka beribadah –menurut sangkaan mereka–, mereka meninggalkan al-Qur’ân, dan mendengarkan lagu-lagu setan ?!

Imam Ibnul Qayyim t juga berkata, “Meskipun (majelis sama’/lagu dan musik) telah dihadiri oleh seratus wali (menurut kaum shufi) akan tetapi telah diingkari oleh lebih dari seribu wali.

Meskipun dihadiri oleh Abu Bakar asy-Syibli, akan tetapi Abu Bakar ash-Shiddiq Radhiyallahu anhu tidak menghadirinya.

Meskipun telah dihadiri oleh Yusuf bin Husain ar-Razi namun yang jelas tidak dihadiri oleh ‘Umar bin al-Khaththab al-Fâruq Radhiyallahu anhu yang dengannya Allâh Azza wa Jalla memisahkan antara haq dan batil.

Meskipun dihadiri oleh an-Nuuri namun pasti tidaklah dihadiri oleh Dzun Nûrain ‘Utsmân bin ‘Affân Radhiyallahu anhu .

Meskipun dihadiri oleh Dzun Nun al-Mishri namun tidaklah dihadiri oleh ‘Ali bin Abi Thâlib al-Hasyimi Radhiyallahu anhu …

Meskipun dilakukan oleh mereka semua namun seluruh kaum Muhajirin dan Anshar, yang ikut serta dalam Perang Badar, peserta Bai’atur Ridhwan, dan segenap Shahabat Nabi dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik tidak ada yang pernah melakukannya.

Demikian pula seluruh ulama ahlu fiqih dan fatwa, seluruh Ulama ahli hadits dan Ulama Ahlus Sunnah, seluruh ahli tafsir dan imam-imam qira’ah, seluruh imam-imam jarh dan ta’dil yang membela Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan agama beliau, tidak ada yang melakukannya. Lalu siapakah lagi yang melakukannya? [36]

Pihak manakah yang berhak mendapatkan rasa aman
Ketika Allâh membangkitkan seluruh manusia
Lalu semuanya dikumpulkan?”[37]

FAWAA-ID HADITS:
1. Dalam hadits ini ada tanda-tanda kenabian Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan apa yang akan terjadi pada ummat Islam.
2. Haramnya zina.
3. Haramnya mengenakan pakain yang terbuat dari sutera bagi laki-laki. Karena ada hadits shahîh yang menjelaskan tentang halalnya sutera dan emas bagi wanita. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

أُحِلَّ الذَّهَبُ وَالْحَرِيْرُ لِإِنَاثِ أُمَّتِيْ وَحُرِّمَ عَلَى ذُكُوْرِهَا.

Dihalalkan emas dan sutera bagi para wanita umatku dan diharamkan bagi laki-laki[38]
4. Haramnya khamr (minuman keras).
5. Haramnya lagu dan musik.
6. Semua jenis alat musik adalah haram kecuali duff (rebana) untuk acara pernikahan dengan beberapa ketentuan syari’at.
7. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan nanti akan ada orang Islam yang menghalalkan sutera, musik, zina dan khamr. Apa yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sabdakan terbukti seperti yang kita lihat sekarang ini, sebagian ustadz-ustadz, kyai-kyai, dan Ulama menghalalkan musik dan lagu, bahkan ikut joget dan nyanyi. Allâh ul Musta’aan wa ’Alaihi Tuklaan walaa hawla walaa quwwata illaa billaah.

Maraaji’:
1. Al-Qur-an dan terjemahnya.
2. Kutubus sittah dan Musnad Imam Ahmad.
3. Sunan al-Baihaqi.
4. Majmû’ Fatâwâ Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
5. Ighâtsatul Lahafân, Imam Ibnul Qayyim. Tahqiq: Syaikh Ali Hasan.
6. al-Istiqâmah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
7. Tahriimun Nard wasy Syatranj wal Malaah, Abu Bakar bin Husain al-Aajurri.
8. Tahdzîbus Sunan, Imam Ibnul Qayyim.
9. Talbîs Iblîs, Ibnul Jauzi, cet. Daarul Kutub ’Ilmiyyah.
10. Majmû’ Rasâ-il al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali.
11. Siyar A’lâmin Nubalâ’, Imam adz-Dzahabi.
12. Mawâridul Amân, ringkasan Ighâtsatul Lahafân, Syaikh Ali Hasan.
13. al-Muntaqan Nafîs, ringkasan Talbîs Iblîs, Syaikh Ali Hasan.
14. Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani.
15. Nailul Authâr, Imam Asy-Syaukani. Tahqiq dan takhrij: Muhammad Subhi Hasan Hallâq.
16. Tahrîm Âlâtith Tharb, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani.
17. Ahâdîts al-Ma’âzif wal Ghinâ’ Dirâsatan Hadîtsiyyatan Naqdiyyatan, Muhammad ’Abdul Karim Abdurrahman.
18. ar-Rîhul Qâshif ’al â Ahlil Ghinâ’ wal Ma’âzif, Dziyab bin Sa’ad Aalu Hamdan al-Ghamidi.
19. Fat-hu Dzil Jalâli wal Ikrâm Syarh Bulûghil Marâm, Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin.
20. Dan kitab-kitab lainnya.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XVI/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Maksudnya, dengan lafazh yang menunjukkan bahwa sanadnya terputus antara al-Bukhari dengan rawi setelahnya, yaitu Hisyâm bin ‘Ammar. Akan tetapi pada hakikatnya tidak terputus, seperti yang akan dijelaskan nanti.
[2]. Dalam Shahiihnya. Lihat Nashbur Râyah (IV/231).
[3]. Lihat Shiyânatu Shahîh Muslim minal Ikhlâl wal Ghalath wa Himâyatuhu minal Isqâth was Saqath (hlm. 84).
[4]. Muqaddimah Ibnu Shalâh fii ‘Ulûmil Hadîts (hlm. 32).
[5]. al-Istiqâmah (I/294).
[6]. Dalam Shahîhnya. Lihat Tahdzîbus Sunan (IV/1801-1803), karya Ibnul Qayyim, tahqiq: DR. Isma’il bin Ghazi Marhaba, cet. Maktabah al-Ma’arif.
[7]. Dalam Shahîhnya. Lihat Fat-hul Bâri (X/52).
[8]. Ighâtsatul Lahfân (I/464), tahqiq: Syaikh Ali Hasan.
[9]. Irsyâdu Thullâbul Haqâ-iq (I/196), tahqiq Syaikh ‘Abdul Baari Fat-hullah.
[10]. Majmû’ Rasâ-il al-Hâfizh Ibni Rajab al-Hanbali (Nuzhatul Asmaa’ (II/449).
[11]. Taghlîqut Ta’lîq (V/22).
[12]. Nailul Authâr (XIV/510), takhrij dan ta’liq: Subhi Hasan Hallaaq.
[13]. al-Inshâf (hlm. 62). Dinukil dari Ahâdîtsul Ma’âzif wal Ghinâ Dirâsatan Hadîtsiyyatan Naqdiyyatan (hlm. 57-58).
[14]. Tahrîm Âlâtith Tharb (hlm. 28).
[15]. Lihat Ighâtsatul Lahfân (I/465-466), Mawâridul Amân (hlm. 329) dan Tahdzîbus Sunan (IV/1801-1803). Untuk mengetahui lebih lengkap jalan-jalan periwayatan hadits ini, lihat Tahrîm Âlâtith Tharb (hlm. 40-41 dan 80-91) dan Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 91).
[16]. Tahdzîbul Kamâl (XXX/247).
[17]. At-Tsiqât (IX/233) dan Siyar A’lâmin Nubalâ’ (XI/424).
[18]. Tahdzîbul Kamâl (XXX/248) dan Siyar A’lâmin Nubalâ’ (XI/424).
[19]. Khulâshah Tahdzîbu Tahdzîbil Kamâl fii Asmâ-ir Rijâl (hlm. 410).
[20]. Siyar A’lâmin Nubalâ’ (XI/420).
[21]. al-’Ibar fii Khabari man Ghabar (I/351).
[22]. Tahrîm Âlâtith Tharb, hlm. 76.
[23]. Ighâtsatul Lahfân (I/466).
[24]. Tahrîm Âlâtith Tharb, hlm. 79.
[25]. Yaitu kitab Tahrîm Âlâtith Tharb.—Pen.
[26]. Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (I/188-194).
[27]. Lihat Dzammul Malâhi (no. 17), Talbîs Iblîs (hlm. 240), dan al-Muntaqan Nafîs min Talbîs Iblîs (hlm. 306).
[28]. Atsar shahih: Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Sunannya (X/222). Lihat Tahrîm Âlâtith Tharb (hlm. 92).
[29]. Dzammul Malâhi (no. 21), Talbîs Iblîs (hlm. 241), dan al-Muntaqan Nafîs (hlm. 306). Lihat Tahrîm Âlâtith Tharb (hlm. 120).
[30]. Tahrîmun Nard wasy Syatranj wal Malâhi (hlm. 39) tahqiq ‘Umar Gharamah al-Amrawi, cet. I th. 1400 H.
[31]. Ighâtsatul Lahfân (I/411) dan Mawâridul Amân (hlm. 298-299).
[32]. Majmû’ Fatâwâ (XI/576).
[33]. Majmû’ Fatâwâ (X/417).
[34]. Majmû’ Fatâwâ (XI/535).
[35]. Ighâtsatul Lahfân (I/408) dan Mawâridul Amân (hlm. 295).
[36]. Kalau generasi terbaik tidak pernah mendengarkan musik dan lagu, maka tidak ada yang melakukannya kecuali orang-orang fasik. Kenapa kalian berpaling dari generasi terbaik??!-Pen
[37]. Kasyful Ghithâ’ ’an Hukmi Samâ’il Ghinâ’ (hlm. 79-80), cet. 1-Daarul Jiil, th. 1412 H atau al-Kalâm ’ala Mas-alatis Samâ’ (hlm. 44), karya Ibnul Qayyim al-Jauziyyah, tahqiq: Muhammad ’Uzair Syams, cet. 1-Daar ’Alamil Fawaa-id, th. 1432 H.
[38]. Shahih: HR. Ahmad (IV/394, 407), An-Nasa-i (VIII/161), at-Tirmidzi (no. 1720), dan lainnya. At-Tirmidzi berkata: Hadits Abu Musa Hadits Hasan Shahih. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Irwâ-ul Ghalîl (no. 277).

No comments:

Post a Comment