03 February 2015

ISTILAH BERBAHASA SANTUN MENURUT AL-QUR’AN

Ada sebuah pepatah, “Lidah itu tidak bertulang, tetapi ia lebih tajam daripada pedang”. Pepatah ini benar adanya. Terluka oleh lisan akan lebih sakit dibanding terluka oleh pedang. Pasalnya, luka karena pedang banyak medical service yang memungkinkan penyembuhan. Tetapi, luka karena lisan belum tentu ada penawarnya, karena yang terluka bukanlah fisik melainkan batin.

Kata-kata yang keluar dari mulut kita tidak selamanya kita rasa baik, terkadang  secara sengaja atau tidak menyayat hati pendengarnya. Jika hal tersebut dibiarkan maka ucapan yang keluar dari mulut kita justru akan merugikan diri kita sendiri. Sehingga, ahli ibadah divonis celaka oleh Rasulullah saw gara-gara lisannya yang tidak terjaga. Dalam sebuah hadits dijelaskan:

قِيْلَ لِرَسُوْلِ اللهِ ص إِنَّ فُلَانَةَ تَصُوْمُ النَّهَارَ وَتَقُوْمُ اللَّيْلَ وَ هِيَ سَيِّئَةُ الْخُلُقِ تُؤْذِى جِيْرَانَهَا بِلِسَانِهَا قَالَ لَا خَيْرَ فِيْهَا هَيَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ


Dikatakan kepada Rasulullah saw., “Sesungguhnya si Fulanah shaum di siang hari dan tahajud di malam hari. Namun akhlaknya buruk. Ia suka menyakiti hati tentangganya dengan mulutnya”. Rasulullah bersabda, “Tidak ada kebaikan pada diri Fulanah itu. Ia termasuk ahli neraka”. (H.R. Ahmad).

I. PENDAHULUAN

Kemampuan berbicara berarti kemampuan berkomunikasi. Berkomunikasi adalah sesuatu yang diperlukan hampir di setiap kegiatan manusia. Dalam komunikasi kita dapat saling menumbuhkan persahabatan, memelihara kasih sayang, dan berbagi pengetahuan. Akan tetapi dengan komunikasi, kita juga dapat mengakibatkan perpecahan, permusuhan, dan kebencian. Kenyataan ini menjadi gambaran bahwa kegiatan komunikasi bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan oleh setiap manusia.

Pembahasan di dalam makalah ini adalah tentang qaulan. Qaulan adalah suatu pesan-pesan keislaman yang mana dalam penyampaiannya itu dilihat dari komunikasi menurut ajaran Islam. Mengenai caranya, dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits dapat ditemukan berbagai panduan agar komunikasi berjalan dengan baik dan efektif sehingga tidak terjadi suatu kesalahpahaman antara umat manusia dalam menyampaikan komunikasi dan komunikasi yang diterimanya. Kita dapat mengistilahkannya sebagai kaidah, prinsip, atau etika berkomunikasi dalam perspektif Islam. Yang mana kaidah, prinsip, atau etika komunikasi dalam Islam ini merupakan panduan bagi kaum muslim dalam melakukan komunikasi.

II. RUMUSAN MASALAH


A. Apakah arti dari Qaulan sadidan?
B. Apakah arti dari Qaulan balighan?
C. Apakah arti dari Qaulan kariman?
D. Apakah arti dari Qaulan maisuran?
E. Apakah arti dari Qaulan ma’rufa?
F. Apakah arti dari Qaulan layyinan?

III. PEMBAHASAN


A. Qaulan Sadidan

Qaulan sadidan terdiri dari kata qaul yang berarti perkataan atau pernyataan, dan sadid yang berarti tepat atau benar.[1] Kata ( سديدا) sadidanterdiri dari huruf sin dan dal yang menurut pakar bahasa, Ibn Faris, menunjuk kepada makna meruntuhkan sesuatu kemudian memperbaikinya. Ia juga berarti istiqomah/konsistensi. Kata ini juga digunakan untuk menunjuk kepada sasaran. Seseorang yang menyampaikan sesuatu/ucapan yang benar dan mengena tepat pada sasarannya dilukiskan dengan kata ini.
Dari kata ( سديدا) sadidan, yang mengandung makna meruntuhkan sesuatu kemudian memperbaikinya, diperoleh pula petunjuk bahwa ucapan yang meruntuhkan jika disampaikan, harus pula dalam saat yang sama memperbaikinya, dalam arti kritik yang disampaikan hendaknya merupakan kritik yang membangun, atau dalam arti informasi yang disampaikan haruslah baik, benar, dan mendidik.[2]
Q.S An-Nisa: 9
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا (۹)
Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.[3]


Q.S. Al-Ahzab: 70
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا (۷۰)
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar.[4]


Dalam konteks ayat di atas kata qaul sadid ditujukan kepada orang-orang yang beriman, supaya mereka senantiasa berkata benar atau tepat dalam situasi dan kondisi apapun.[5] Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk selalu berkata benar, selaras antara yang diniatkan dan yang diucapkan, karena seluruh kata yang diucapkan dicatat oleh malaikat Raqib dan ‘Atid, dan harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Bila mereka tetap memelihara keimanan dan ketakwaan serta selalu mengatakan kebenaran, pasti Allah akan memperbaiki perbuatan dan mengampuni dosa-dosa mereka.[6]
Thahir Ibn Asyur menggaris bawahi kata ( قول ) qaul/ucapan yang menurutnya merupakan satu pintu yang sangat luas, baik yang berkaitan dengan kebajikan maupun keburukan. Sekian banyak hadits yang menekankan pentingnya memerhatikan lidah dan ucapan-ucapannya. “Manusia tidak disungkurkan wajahnya ke neraka kecuali akibat lidah mereka.” “Allah merahmati seseorang yang mengucapkan kata-kata yang baik sehingga dia memperoleh keselamatan.” “Barangsiapa yang percaya kepada Allah dan hari Kemudian, hendaklah dia berucap yang baik atau diam.” Demikian Ibnu Asyur mengemukakan tiga hadits Nabi saw dan yang selanjutnya menyatakan bahwa “perkataan yang tepat” mencakup sabda para nabi, ucapan para ulama’ dan para penutur hikmah. Membaca Al-Qur’an dan meriwayatkan hadits termasuk dalam hal ini. Demikian juga tasbih tahmid, adzan, dan qamat.
Dengan perkataan yang tepat-baik yang terucapkan dengan lidah dan didengar orang banyak maupun yang tertulis sehingga terucapkan oleh diri sendiri dan orang lain ketika membacanya akan tersebar luas informasi dan memberi pengaruh yang tidak kecil bagi jiwa dan pikiran manusia. Kalau ucapan itu baik, baik pula pengaruhnya, dan bila buruk maka buruk pula, dan karena itu ayat di atas menjadikan dampak dari perkataan yang tepat adalah perbaikan amal-amal.
Thabathaba’i berpendapat bahwa dengan keterbiasaan seseorang mengucapkan kalimat-kalimat yang tepat, ia akan menjauh dari kebohongan dan tidak juga mengucapkan kata-kata yang mengakibatkan keburukan atau yang tidak bermanfaat. Seseorang yang telah mantap sifat tersebut pada dirinya, perbuatan-perbuatannyapun akan terhindar dari kebohongan dan keburukan, dan ini berarti lahirnya amal-amal shaleh dari yang bersangkutan. Ketika itu ia akan menyadari betapa buruk amal-amalnya yang pernah ia lakukan sehingga ia menyesalinya dan penyesalan tersebut mendorong ia bertaubat, dan ini mengantar Allah memeliharanya serta menerima taubatnya.[7]
Qaulan sadidan menurut pemaparan arti dari surat di atas yaitu suatu pembicaraan, ucapan, atau perkataan yang benar, baik dari segi substansi (materi, isi, pesan) maupun redaksi (tata bahasa).


B. Qaulan Balighan

Kata (بليغا) balighan terdiri dari huruf-huruf ba’, lam dan ghain. Pakar-pakar bahasa manyatakan bahwa semua kata yang terdiri dari huruf-huruf tersebut mengandung arti sampainya sesuatu ke sesuatu yang lain. Ia juga bermakna “cukup” karena kecukupan mengandung arti sampainya sesuatu kepada batas yang dibutuhkan. Seorang yang pandai menyusun kata sehingga mampu menyampaikan pesannya dengan baik lagi cukup dinamai baligh. Mubaligh adalah orang yang menyampaikan suatu berita yang cukup kepada orang lain. Pakar-pakar sastra menekankan perlunya dipenuhi beberapa kriteria sehingga sehingga pesan yang disampaikan dapat disebut balighan, yaitu:
a. Tertampungnya seluruh pasan dalam kalimat yang disampaikan
b. Kalimatnya tidak bertele-tele tetapi tidak pula disingkat sehingga mengaburkan pesan. Artinya, kalimat tersebut cukup, tidak berlebihan atau berkurang.
c. Kosa kata yang merangkai kalimat tidak asing bagi pendengaran dan pengetahuan lawan bicara, mudah diucapkan serta tidak “berat” terdengar.
d. Sesuai dengan kandungan dan gaya bahasa dengan sikap lawan bicara. Lawan bicara atau orang kedua tersebut boleh jadi sejak semula menolak pesan atau meragukannya atau boleh jadi telah meyakini sebelumnya, atau belum memiliki ide sedikitpun tentang apa yang akan disampaikan.
e. Kesesuaian dengan tata bahasa.[8]


Kata baligh berarti tepat, lugas, fasih, dan jelas maknanya. Qaulan balighanartinya menggunakan kata-kata yang efektif, tepat sasaran, komunikatif, mudah dimengerti, langsung ke pokok masalah, dan tidak berbelit-belit atau bertele-tele. Agar komunikasi tepat sasaran, gaya bicara dan pesan yang disampaikan hendaklah disesuaikan dengan kadar intelektualitas komunikasi dan menggunakan bahasa yang dimengerti oleh mereka.


Q.S. An-Nisa: 63
أُولَئِكَ الَّذِينَ يَعْلَمُ اللَّهُ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ وَعِظْهُمْ وَقُلْ لَهُمْ فِي أَنْفُسِهِمْ قَوْلًا بَلِيغًا (٦٣)
Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka.[9]


C. Qaulan Kariman

Kata (كريما) kariman biasa diterjemahkan mulia. Kata ini terdiri dari huruf-huruf kaf, ra’, dan mim yang menurut pakar-pakar bahasa mengandung makna yang mulia atau terbaik sesuai objeknya. Bila dikatakan rizqun karim, yang dimaksud adalah rizki yang halal dalam perolehan dan pemanfaatannya serta memuaskan dalam kualitas dan kuantitasnya. Bila kata karim dikaitkan dengan akhlak menghadapi orang lain, ia bermakna pemaafan.[10]
Qaulan kariman adalah perkataan yang mulia, dibarengi dengan rasa hormat dan mengagungkan, enak didengar, lemah lembut, dan bertata krama. Qaulan kariman harus digunakan khususnya saat berkomunikasi dengan kedua orang tua dan orang yang harus dihormati. Allah telah berfirman dalam Q.S. Al-Isra: 23;
وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا (۲٣)
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.[11]


Ayat diatas menuntut agar apa yang disampaikan kepada orang tua bukan saja yang benar dan tepat, bukan saja juga yang sesuai dengan adat kebiasaan yang baik dalam suatu masyarakat, tetapi ia juga harus yang terbaik dan mulia, dan kalaupun seandainya orang tua melakukan suatu kesalahan terhadap anak, kesalahan itu harus dianggap tidak ada/dimaafkan (dalam arti dianggap tidak pernah ada dan terhapus dengan sendirinya) karena tidak ada orang tua yang bermaksud buruk terhadap anaknya. Demikian makna kariman yang dipesankan kepada anak dalam menghadapi orangtuanya.[12]
Ketentuan dan sopan santun dalam ayat ini antara lain:
1. Seorang anak tidak boleh mengucapkan kata kotor dan kasar meskipun hanya berupa kata “ah” kepada orang tuanya.
2. Seorang anak tidak boleh menghardik atau membentakorang tuanya, sebab bentakan itu akan melukai perasaan keduanya.
3. Hendaklah anak mengucapkan kata-kata yang mulia kepada orang tuanya. Kata-kata yang mulia ialah kata-kata yang baik dan diucapkan dengan penuh hormat, yang menggambarkan adab sopan santun dan penghargaan penuh terhadap orang lain.[13]


D. Qaulan Maisuran

Secara etimologis, kata maisuran berasal dari kata yasara yang artinya mudah atau gampang (Al-Munawir). Ketika kata maisuran digabungkan dengan kata qaulan menjadi qaulan maisuran artinya berkata dengan mudah atau gampang. Berkata dengan mudah maksudnya adalah kata-kata yang digunakan mudah dicerna, dimengerti, dan dipahami. Makna lainnya adalah kata-kata yang menyenangkan atau berisi hal-hal yang menggembirakan.
Kata qaulan maisuran hanya satu kali disebutkan dalam Al-Qur’an, yaitu pada Q.S. Al-Isra: 28;
وَإِمَّا تُعْرِضَنَّ عَنْهُمُ ابْتِغَاءَ رَحْمَةٍ مِنْ رَبِّكَ تَرْجُوهَا فَقُلْ لَهُمْ قَوْلًا مَيْسُورًا (۲٨)
Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang kamu harapkan, maka katakanlah kepada mereka ucapan yang pantas.[14]


Berdasarkan ashab al-nuzul ayat terebut, Allah memberikan pendidikan kepada Nabi Muhammad saw untuk menunjukkan sikap yang arif dan bijaksana dalam menghadapi keluarga dekat, orang miskin, dan musafir.


E. Qaulan Ma’rufa

Qaulan Ma’rufa artinya perkataan yang baik, ungkapan yang pantas, santun, menggunakan sindiran (tidak kasar), dan tidak menyakitkan atau menyinggung perasaan. Qaulan Ma’rufa juga memiliki arti yaitu kalimat-kalimat yang baik sesuai dalam kebiasaan masyarakat, selama kalimat tersebut tidak bertentangan dengan nilai-nilai ilahi.[15] Atau juga bermakna pembicaraan yang bermanfaat dan menimbulkan kebaikan (maslahat).


Q.S. An-Nisa: 5
وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا (٥)
Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.[16]


Ayat ini mengamanahkan agar pesan hendaknya disampaikan dalam bahasa yang sesuai dengan adat kebiasaan yang baik menurut ukuran setiap masyarakat[17]
Q.S. An-Nisa: 8
وَإِذَا حَضَرَ الْقِسْمَةَ أُولُو الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينُ فَارْزُقُوهُمْ مِنْهُ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا (٨)
Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat[270], anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu [271] (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.[18]


Q.S. Al-Baqarah: 235
وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ أَوْ أَكْنَنْتُمْ فِي أَنْفُسِكُمْ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ سَتَذْكُرُونَهُنَّ وَلَكِنْ لَا تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلَّا أَنْ تَقُولُوا قَوْلًا مَعْرُوفًا وَلَا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ حَلِيمٌ (۲٣٥)
Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran]atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma'ruf[150]. Dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.[19]


F. Qaulan Layyinan

فقولاله قولاليّنا ) ) fa qula lahu qaulan layyinan/maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut menjadi dasar tentang perlunya sikap bijaksana dalam berdakwah yang antara lain ditandai dengan ucapan-ucapan sopan yang tidak menyakitkan hati sasaran dakwah. Karena Fir’aun saja, yang demikian durhaka, masih juga harus dihadapi dengan lemah lembut. Memang, dakwah pada dasarnya adalah ajakan lemah lembut. Dakwah adalah upaya menyampaikan hidayah. Kata (هداية) hidayah yang terdiri dari huruf-hurufha’, dal, dan ya’ maknanya antara lain adalah menyampaikan dengan lemah lembut. Dari sini, lahir kata hidayah yang merupakan penyampaian sesuatu dengan lemah lembut guna menunjukkan simpati. Ini tentu saja bukan berarti juru dakwah tidak melakukan kritik, hanya saja itupun harus disampaikan dengan tepat bukan saja pada kandungannya tetapi juga waktu dan tempat serta susunan kata-katanya, yakni dengan tidak memaki atau memojokkan.[20]
Qaulan layyinan adalah pembicaraan yang lemah lembut, dengan suara yang enak didengar, dan penuh keramahan, sehingga dapat menyentuh hati. Dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan, yang dimaksud layyinan ialah kata-kata sindiran, bukan dengan kata-kata terus terang atau lugas, apalagi kasar.
Q.S. Thaha: 44
فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى (٤٤)
Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.[21]


Contoh: Allah mengajarkan kepada Musa dan Harun as bagaimana cara menghadapi Fir’aun, yaitu dengan kata-kata yang halus dan ucapan yang lembut. Seseorang yang dihadapi dangan cara demikian, akan terkesan dihatinya dan akan cenderung menyambut dengan baik dan menerima dakwah dan ajakan yang diserukan kepadanya.[22]


IV. KESIMPULAN

Ø Qaulan sadidan yaitu suatu pembicaraan, ucapan, atau perkataan yang benar, baik dari segi substansi (materi, isi, pesan) maupun redaksi (tata bahasa).

Ø Qaulan balighan artinya menggunakan kata-kata yang efektif, tepat sasaran, komunikatif, mudah dimengerti, langsung ke pokok masalah, dan tidak berbelit-belit atau bertele-tele.

Ø Qaulan kariman adalah perkataan yang mulia, dibarengi dengan rasa hormat dan mengagungkan, enak didengar, lemah lembut, dan bertata krama.

Ø Qaulan maisuran artinya berkata dengan mudah atau gampang dengan menggunakan kata-kata yang mudah dicerna, dimengerti, dan dipahami. Makna lainnya adalah kata-kata yang menyenangkan atau berisi hal-hal yang menggembirakan.

Ø Qaulan Ma’rufa artinya perkataan yang baik, ungkapan yang pantas, santun, menggunakan sindiran (tidak kasar), dan tidak menyakitkan atau menyinggung perasaan.

Ø Qaulan layyinan adalah pembicaraan yang lemah lembut, dengan suara yang enak didengar, dan penuh keramahan, sehingga dapat menyentuh hati. Dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan, yang dimaksud layyinan ialah kata-kata sindiran, bukan dengan kata-kata terus terang atau lugas, apalagi kasar.


V.    PENUTUP

Demikian makalah ini penulis susun, semoga dapat memberi manfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya. Penulis berharap kepada pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun kepada penulis demi perbaikan makalah yang akan datang.



MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Akhlak II
Dosen pengampu: H. Ahmad Muthohar, M.Ag.

DAFTAR PUSTAKA


Departemen Agama RI. 2010. Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid IV. Jakarta: Lentera Abadi.
Departemen Agama RI. 2010. Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid V. Jakarta: Lentera Abadi.
Departemen Agama RI. 2010. Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid VIII. Jakarta: Lentera Abadi.
Departemen Agama. 2009. Al-Qur-an dan Terjemahan. Surakarta: PT. Indiva Media Kreasi.
Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir Al-Mishbah 2. Jakarta: Lentera Hati.
Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir Al-Mishbah 4. Jakarta: Lentera Hati.
Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir Al-Mishbah 7. Jakarta: Lentera Hati.
Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir Al-Mishbah 15. Jakarta: Lentera Hati.

[1] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid VIII,(Jakarta: Lentera Abadi, 2010), hlm. 46.
[2] M. Quraish Sihab, Tafsir Al-Mishbah 4, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 547.
[3] Departemen Agama, Al-Qur-an dan Terjemahan, (Surakarta: PT. Indiva Media Kreasi, 2009), hlm. 78.
[4] Departemen Agama, Al-Qur-an dan Terjemahan, (Surakarta: PT. Indiva Media Kreasi, 2009), hlm. 427.
[5] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid VIII, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), hlm. 46.
[6] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid VIII, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), hlm. 48.
[7] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah 4, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 547-548.
[8] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah 15, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 595-596 .
[9] Departemen Agama, Al-Qur-an dan Terjemahan, (Surakarta: PT. Indiva Media Kreasi, 2009), hlm. 87.
[10] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah 7, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 65-66
[11] Departemen Agama, Al-Qur-an dan Terjemahan, (Surakarta: PT. Indiva Media Kreasi, 2009), hlm. 284.
[12]M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah 7, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm.66.
[13] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid V, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), hlm. 461.
[14] Departemen Agama, Al-Qur-an dan Terjemahan, (Surakarta: PT. Indiva Media Kreasi, 2009), hlm. 285.
[15] M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah 2, (Tangerang:Lentera Hati,2007), hlm.356.
[16] Departemen Agama, Al-Qur-an dan Terjemahan, (Surakarta: PT. Indiva Media Kreasi, 2009), hlm. 77.
[17] M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah 2, (Tangerang:Lentera Hati,2007), hlm.356.
[18] Departemen Agama, Al-Qur-an dan Terjemahan, (Surakarta: PT. Indiva Media Kreasi, 2009), hlm. 77.
[19] Departemen Agama, Al-Qur-an dan Terjemahan, (Surakarta: PT. Indiva Media Kreasi, 2009), hlm. 38.
[20] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah 7, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 594-595.
[21] Departemen Agama, Al-Qur-an dan Terjemahan, (Surakarta: PT. Indiva Media Kreasi, 2009), hlm. 314.
[22] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid VI, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), hlm. 143.

No comments:

Post a Comment