14 January 2013

Jangan mengambil pemahaman dari Ulama yang terputus sanadnya


Adab Menuntut Ilmu: Jangan mengambil pemahaman dari Ulama yang terputus sanadnya!

Perkara yang paling penting dalam hidup ini adalah perkara agama. Perkara agama menjadi landasan dasar setiap urusan, baik urusan dunia dan terlebih masalah akhirat. Maka, selayaknya seorang muslim harus bertanya kepada ulama yang paham mengenai agama tentang segala yang akan ia hadapi dalam hidup in, baik persoalan pribadi, keluarga, masyarakat, bahkan bernegara. Adab seperti ini dijelaskan dalam firman ALLAH di dalam al-Quran:

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرَ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ

“Maka bertanyalah kepada orang-orang yang berilmu jika kalian tidak mengetahui.” (Al-Anbiya: 7)

Salah satu adab dalam menggali ilmu agama ialah mengenal dengan baik sosok yang menjadi sandaran kita dalam bertanya, mengkaji, dan menimba ilmu. Ulama yang menjadi panutan dalam menguraikan segala aspek permasalahan harus diketahui silsilah keilmuannya. Dalam istilah agama disebut dengan al-isnad (الإسناد) atau sanad. Sanad menjadi penting dalam penjagaan pemahaman Islam ahlussunnah wal-jamaah sejak zaman Nabi Muhammad saw hingga akhir zaman nanti.

Sanad adalah sunnatullah

Belajar dan mengajar, menjadi guru dan menjadi murid adalah sebuah sunnatullah dan ketetapan dari ALLAH dalam menjaga ilmu-ilmu agamaNya hingga hari kiamat. ALLAH dengan terang menjelaskan al-Quran bagaimana para nabi dan orang-orang shalih dalam menuntut ilmu. Di dalam surat al-Kahfi ayat: 66, dikisahkan Nabi Musa –alaihissalam- berguru kepada Nabiyullah Khidhr –alaihissalam.

قَالَهُ مُسَى هَلْ أَتَّبِعُكَ أّنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلَّمْتَ رُشْدَا

‘Berkata Musa kepadanya (Khidhr) ‘Bolehkan aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar diantara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?’

Dalam menafsirkan kisah Nabi Musa dan Nabi Khidhr di dalam surat Al-Kahfi ini, Syaikh Abu Yazid al-Bustami berkata: “Barangsiapa tidak memiliki silsilah guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi bahwa gurunya adalah setan.” (Tafsir Ruhul-Bayan Juz V hal. 203).

Sanad dalam Ilmu al-Qur’an

Dari Usman bin Affan, Nabi Muhammad –salallahu ‘alaihi wasalam bersabda:

خيركم من تعلم القرآن وعلمه

“Orang yang paling baik diantara kalian adalah belajar al-Quran dan mengajarkannya (pada orang lain)..”

Nabi Muhammad sendiri adalah murid dari Malaikat Jibril dalam hal ilmu Quran. Diriwayatkan bahwa setiap malam jibril memeriksa hafalan quran Rasulallah dengan cara ‘talaqqi’ dan bermuwajahah langsung dengan Malaikat Jibril –alaihissalam. Nabi pun kembali mengajarkan Quran kepada sahabat-sahabatnya. Maka munculah sahabat-sahabat yang lebih menonjol kemampuannya dalam ilmu qira’at seperti Abdullah bin Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, dan Abu Musa al-Anshari. Setelah zaman itu, munculah fitnah orang-orang yang mengaku memiliki ilmu quran yang bersumber dari Nabi. Untuk itu dilakukanlah penelitian dan pengujian oleh para ulama menggunakan kaidah-kaidah seperti Rasm Utsmani, tata bahasa Arab, dan yang terpenting adalah sanad quran yang jelas. Walhasil, hingga kini Quran tetap terjaga dengan adanya sanad-sanad guru yang jelas, sekarang dikenal dengan istilah Qira’ah Sab’ah yang dibawa oleh para ulama yang bersih silsilahnya kepada para sahabat ahli quran dan bersambung kepada Rasulillah –salallahu alaihi wassalam.

Sanad dalam  Aqidah: Asy-ariyyah dan Maturidiyah adalah penisbatan dan representasi aqidah yang benar

Permasalahan Aqidah yang menjadi pokok dari ajaran Islam juga diftnah pada akhir-akhir abad ini, terutama dari kalangan anti-sanad dan anti-mahdzab. Madzhab aqidah Islam yang muktabaroh (disepakati) yaitu Asy-ariyyah dan al-Maturidiyah difitnah sebagai aqidah yang sesat, disamakan dengan mu’tazilah, khawarij, dsb. Padahal kedua madzab aqidah ini telah established dan selama 12 abad telah -secara representatif mewakili Islam ahlussunnah itu sendiri.

Hakikat pengikut madzhab aqidah al-asya’iroh adalah aqidah ahlussunnah wal-jamaah yang berdasarkan al-Quran dan hadits Rasulullah –salallahu alaihi wasallam. Imam al-Hafizh Muhammad Murtadho Zubaidi, dalam syarah Ihya Ulumuddin menuliskan:” Jika dikatakan ahlussunnah waljamaah, maka itu adalah al-asy’ariyyah dan al-maturidiyah”, artinya mereka yang mengikuti al-Imam Abul-Hasan al-Asy’ari dan al-Imam Abu Manshur al-Maturidi, adalah beraqidah ahlussunnah wal-jamaah. Sesiapa saja yang mengikuti kedua Imam ini berarti telah mengikuti agama Islam yang lurus.

Ketidakpahaman mengenai aqidah Asy’ari ini menyebabkan perpecahan di tengah umat, padahal jika dilihat dan dirunut sejarah, ternyata para ulama besar zaman dahulu umumnya mengikuti kedua madzhab ini.  Hal ini dibuktikan dalam manaqib (biografi) para ulama yang semuanya beraqidah al-Asya’ri dan Maturidi, diantaranya: al-Imam Ibnu Hajar al-Atsqalani (penulis Fat-hul Baari, syarah Shahih Bukhori), Imam An-Nawawi (penulis Syarah Shahih Muslim, Riyadhus-shalihin, Al-Adzkar), Syaikhul Mufassirin al-Imam Qurthubi (penulis tafsir Al-Jami’ li Ahkamil Quran), Ibnu Hajar Al-Haitami (penulis kitab Az-Zawajir ‘an Iqtiraf al-Kaba-ir), Syaikhul Fiqh al-Imam Zakariyya al-Anshari, Hujjatul Islam al-Imam Al-Ghazali (Ihya Ulummuddin), Imam Suyuthi, dan segudang ulama besar yang kesemuanya menjadi rujukan dalam khazanah ilmu islam sampai saat ini.


Al-Muhadits As-Sayyid Muhammad Alawiy al-Hasani al-Maliki menjelaskan hakikat Aqidah Asy-ariyyah ini secara terperinci di dalam kitabnya Mafahim Yajibu an tushohhah. Ditulis oleh beliau:

الأشاعرة هم أئمة الهدى من العلماء المسلمين, الذين ملأ علمهم مشارق الأرض ومغاربها وأطبق الناس علي  فضلهم وعلومهم ودينهم هم جهابذت علماء اهل السنة وأعلام علمئها الأفاضل الذين وقفوا في طغيا المعتزلة.

Artinya: “Al-Asya’irah adalah mereka para imam yang menjadi simbol hidayah dari kalangan ulama muslimin, yang ilmu mereka memenuhi timur dan barat dunia, dan semua orang sepakat atas keutamaan, keilmuan dan keagamaan mereka. Mereka adalah tokoh-tokoh besar ulama Ahlussunnah yang menentang kesewenang-wenangan Mu’tazilah..”

Bahkan, ulama yang menjadi rujukan kaum anti-sanad (wahabi), yakni Syaikh Ibnu Taimiyyah dalam fatawanya mengakui Asy-ari adalah tidak lain aqidah Islam itu sendiri, penyebutan Asy’ari (atau Asy-a’iroh) hanyalah penisbatan kepada ulama yaitu Imam Abul-Hasan Al-Asy-ari membela aqidah Islam dari serangan kaum mu’tazilah dan aqidah-aqidah sesat ketika itu, dalam fatawa Ibnu Taimiyah tersebut disebutkan bahwa:

والعلماء أنصار علوم الدين والأشاعرة أنصار أصول الدين… (الفتاوى الجز الرابع)

“Para ulama adalah pembela ilmu agama dan (ulama-ulama) al-Asya’iroh adalah pembela dasar-dasar akidah agama (ushuluddin).”  (Fatawa Ibnu Taimiyah , Juz-IV)

Sanad dalam Ilmu Fiqh dan Hadits: Empat Mahdzab yang disepakati dalam Islam

Bagitu juga dalam permasalahan fiqh. Perbedaan pendapat sudah lumrah di kalangan sahabat Nabi bahkan ketika Nabi masih hidup, seringkali Nabi menyelesaikannya dengan bermusyawarah dan meminta pentunjuk dari ALLAH. Namun, perbedaan tersebut tidaklah dihapuskan secara mutlak, namun Rasulullah memiliki sejumlah sahabat yang telah diberi haq berfatwa atas permasalahan agama semasa beliau hidup maupun setelah wafatnya. Hal ini dilakukan karena seiring pemahaman sahabat yang dalam, perluasan wilayah Islam, dan terpencarnya para sahabat Nabi di berbagai wilayah yang mutlak membutuhkan fatwa yang cepat, tepat, dan menjawab. Diantara sahabat yang memiliki kedudukan sebagai ulama tersebut adalah Sayyidina Abbas ra, Ummul-Mukminin Aisyah ra, Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar as-Shiddiq, Umar bin Khatthab, Zaid bin Tsabit, Ibn Abbas, Ibn Umar, Salman al-Farisi.

Setelah berlalu zaman sahabat, muncullah ulama-ulama dari kalangan Tabi’in diantaranya adalah Nafi’ maula Ibnu Umar, Atho’ bin Abi Rabah (mufti makkah ketika itu), Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Hasan al-Bashri, Sufyan bin Uyainah, Ibnu Jarir, Dawud al-Zhahiri, Al-Laits bin Sa’ad, Al-Auza’i, Abu Tsaur yang kesemuanya adalah murid-murid daripada sahabat Nabi yang jelas sanadnya. Setelah itu munculah ulama mujtahid dari kalangan tabi’ut tabi’in yaitu Imam Syafi’i yang banyak menimba ilmu dari para tabiin seperti kepada Imam Malik di Madinah, Al-Imam Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani murid Imam Abu Hanifah di Baghdad, Imam Khalid Muslim az-Zanuji, Sufyan bin Uyainah, Fudhail bin Iyadh, dll.

Kehadiran Imam Syafii ini di tengah peradaban Islam diisyaratkan oleh Rasulillah –salallahu alaihi wassalam dalam haditsnya. Diriwayatkan oleh Imam Baihaqi bahwa Rasulullah –salallahu alaihi wa sallam- bersabda artinya: “Janganlah kalian mencaci (kabilah) Quraisy, sesungguhnya kelak salah seorang ulama Quraisy akan memenuhi bumi ini dengan ilmunya”. Berkata Imam Ahmad bin Hanbal dan kebanyakan ulama, bahwa ‘ulama quraisy’ yang dimaksud oleh Rasulullah disini adalah al-Imam As-Syafi’i. Subhanallah.

Kemudian muncul setelahnya Imam Ahmad bin Hanbal, murid Imam As-Syafi’i. Madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) disepakati oleh secara ijma’ ulama dan diikuti secara masiv oleh Islam ketika itu pada masing-masing daerah penyebarannya, bahkan hingga saat ini madzab empat masih eksis dan berkembang. Hal ini dikarenakan oleh beberapa sebab, diantaranya adanya penulisan kitab-kitab fiqh mereka, tersebarnya murid-murid mereka dalam berda’wah dan mengajar, dan yang terpenting mereka para imam mahdzab adalah pemilik sanad yang jelas dan dekat dengan sahabat dan tentu dengan Rasulullah –salallahu alaihi wa salam. Oleh sebab itu, siapa saja yang berpegang pada salah satu mahdzab empat berarti telah mengikuti jalan yang lurus, bersilsilah, dan bisa dipertanggungjawabkan.

Intinya, semua cabang ilmu agama -baik aqidah, hadits, fiqh, al-Quran, thariqah tasawwuf, da’wah- pasti ALLAH jaga dengan perantaraan ulama-ulama itu sendiri dari masa ke masa. Hingga akhir zaman akan ada selalu lahir ulama hanif yang menjaga kemurnian agama ini hingga akhir zaman. Jelasnya, akan selalu ada ulama yang bersambung silsilah guru daripada gurunya daripada gurunya hingga terus bersambung kepada ulama-ulama salaf hingga kepada Rasulullah –salallhu alaihi wasssalam.

Ulama adalah pewaris para Nabi: sanad adalah benang merahnya!

Diriwayatkan dari Abu Darda –radhiyallahu’anhu dalam penggalan hadits Nabi,

العلماء ورثة الأنبياء إن الأنبياء لم يورثوا دينارا ولا درهاماً إنما ورثوا العلم إن

“Sesungguhnya ulama itu adalah pewaris para nabi, sesungguhnya para nabi tidak mewariskan emas dan perak, tetapi mereka mewariskan ilmu.” (HR Abu Dawud, Tirmizi, dan Ibn Hibban)

إن الله لا يقبض العلم انتزاعاً ينتزعه من العباد ولكن يقبض العلم بقَبض العلماء, حتى إذا لم يبق عالماً اتخذً الناس رءوساً جُهّالاً قسئلو فأفتوا بغير العلم فضلوا وأضلوا (رواه البخاري)

Dari Abdullah bin ‘Amru bin Ash  berkata; aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang awam (jahil), ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan.” (HR Bukhari)

Pada dasarnya seseorang tidak boleh berpendapat atas firman ALLAH dan hadits nabawi, kecuali dengan penjelasan yang turun dari Rasulullah, sahabat, dan para ulama yang bersilsilah kepada generasi salaf. Dari Ibnu ‘Abbas ra. berkata Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- bersabda: “Di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani). Dari Ibnu Abbas ra. Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam bersabda-”Barangsiapa yang berkata mengenai Al-Qur’an tanpa ilmu maka ia menyediakan tempatnya sendiri di dalam neraka” (HR.Tirmidzi). Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)

Sebuah atsar dari Abdullah bin Mubarok –rahimahullah- beliau berkata: ”Sanad merupakan bagian dari agama, kalaulah bukan karena sanad, maka pasti akan bisa berkata siapa saja yang mau dengan apa saja yang diinginkannya (dengan akal pikirannya sendiri).” (Muqoddimah Shahih Muslim I/47 no.32 ). Al-Imam al-Hafizh At-Tsauri –rahimahullah- mengatakan ‘Penuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan orang yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga’. Imam Malik –rahimahullah- berkata: “Janganlah engkau membawa ilmu (yang kau pelajari) dari orang yang tidak engkau ketahui riwayat pendidikannya (sanad ilmu)”. Imam Syafi’i –radhiyallahu ‘anhu- mengatakan: ‘Tidak ada ilmu tanpa sanad’.

Sudah menjadi adab dan lumrah bahwasanya adanya ijazah daripada guru kepada murid-murid terhadap ilmu dan kitab-kitab yang mereka kaji. Sehingga hingga saat ini, seluruh kitab turot (baik kitab-kitab tauhid, fiqh, hadits)  kesemuanya memiliki rantai ijazah yang sampai kepada mualif (penulis) dan terus riwayatnya kepada Rasulillah. Semisal al Muwatho’, kitab hadits pertama yang ditulis Imam Malik rahimahullah, al-Muwatho’, maka Imam As-Syafi’i sebagai murid dari Imam Malik menerima ijazah kitab hadits tersebut daripada gurunya dan mengijazahkan kembali kepada murid-muridnya yang bermuwajahah (berhadapan) langsung dgn beliau . Begitu juga Imam Bukhori yang mengajarkan Shahih Bukhori-nya kepada seluruh muridnya. Sedangkan Imam Bukhori sendiri adalah penerima hadits dari penutur dan periwayat hadits dari rasulullah secara langsung.

Asy-Syaikh as-Sayyid Yusuf Bakhour al-Hasani menyampaikan bahwa: “Maksud dari pengijazahan sanad itu adalah agar kamu menghafazh bukan sekadar untuk meriwayatkan tetapi juga untuk meneladani orang yang kamu mengambil sanad daripadanya, dan orang yang kamu ambil sanadnya itu juga meneladani orang yang di atas di mana dia mengambil sanad daripadanya dan begitulah seterusnya hingga berujung kepada kamu meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dengan demikian, keterjagaan al-Qur’an itu benar-benar sempurna baik secara lafazh, makna dan pengamalan“

Menjadi tidak mengherankan, para pewaris ilmu yang jelas gurunya memiliki pemahaman dan pengamalan sunnah yang lurus, tidak berlainan haluan dengan para salaf, serta jauh dari akhlak dan justifikasi sepihak terhadap berbagai persoalan yang terjadi di masyarakat. Sangat berbeda jika seseorang belajar dari orang atau ulama (katakan saja begitu) yang tidak memiliki guru yang bersilsilah hingga tersambung kepada Rasulillah, maka akan tercermin dari fatwa, pengamalan, egoisme, dan akhlaknya yang buruk. Sikap mudah mengkafirkan (takfir), menyesatkan (tadhlil), dan membid’ahkan golongan selain pendapatnya adalah ciri yang mudah diidentifikasi dari golongan yang tidak jelas silsilah ilmiah keilmuannya. Tidak heran jika kita melihat silsilah ilmu mereka akan berhenti kepada satu orang ulama saja. Mereka berhujah, ‘kembali kepada Al-Quran dan hadits’, tetapi mengabaikan sanad ilmu sehingga tertutuplah mata hati mereka dalam memahami kandungan agama, bahkan bisa menghujat para imam madzhab, menghujat para ulama, memodifikasi kitab, dan paling berbahaya mereka pun mengatasnamakan diri sebagai pengikut salaf dan golongan ahlus-sunnah. Semua ini terjadi karena tidak adanya adab dalam menuntut ilmu, salah satunya tidak mengambil pemahaman dari guru yang bersambung silsilah ilmunya kepada Rasulillah. 

Wallahu-a’lam

No comments:

Post a Comment