03 November 2016

Hak Menentukan Harga Bagi Pemerintah

MUQODDIMAH
Seorang pedagang kebutuhan pokok datang kepada kami menanyakan masalah yang dihadapinya berkaitan dengan sulitnya mendapatkan barang kebutuhan pokok sehari-hari, di antaranya beras, minyak goreng, dan minyak tanah. (Pedagang itu mengatakan) barang-barang tersebut datangnya tidak menentu, ketika datang jumlahnya kurang memenuhi kebutuhan warga setempat, akibatnya setiap hari warga rela antri berjam-jam hanya untuk mendapatkan dua liter minyak tanah –misalnya- karena khawatir kehabisan. Sebagian pedagang yang lain menggunakan “cara jitu” untuk menghindari antrian dengan menaikkan harga barang tersebut dan dia mendapatkan untung yang melimpah, sehingga warga yang tidak ingin antri langsung membeli dengan harga yang tinggi, padahal harga barang-barang tersebut sudah ditentukan harganya oleh pemerintah, dan tidak boleh dijual dari harga sekian dan sekian.
Bolehkah kita melakukan cara tersebut dengan tujuan untuk menghindari antrinya warga?Apabila boleh, berapa batas minimal atau maksimal seorang pedagang mengambil untung dari penjualan dagangannya? Biasanya para pedagang menaikkan harga di atas ketentuan tersebut dengan sembunyi-sembunyi supaya tidak diketahui aparat.
Pertanyaan di atas perlu kami jawab dalam satu bahasan materi supaya lebih jelas, karena masalah ini adalah masalah kita bersama yang telah dibahas oleh para salafush shalih, masalah ini dikenal dengan istilah التسعير at-tas’iiru [1], dan berikut ulasannya.
MAKSUD MENENTUKAN HARGA
Arti at-Tas’ir secara bahasa adalah taqdiiru as-Si’ri, yaitu menentukan suatu harga[2]. Yang dimaksud di sini adalah apabila pemerintah/pemimpin atau wakilnya memerintahkan para pedagang untuk tidak menjual barang dagangannya kecuali dengan harga yang sudah ditentukan pemerintah untuk kemaslahatan bersama.[3]
APAKAH PEMERINTAH BOLEH MENENTUKAN HARGA?
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum menentukan harga bagi pemerintah:
Pendapat pertama, mengatakan pemerintah haram secara mutlak untuk menentukan harga barang dan pemerintah tidak boleh ikut campur dalam urusan pasar manusia.[4]
Dalil mereka:
–          Jumhur ulama berdalil dengan sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Abu Dawud tentang hak menentukan harga:
Dari Anas bin Malik, “Manusia mengatakan, ‘Wahai Rasulullah harga barang naik, maka tentukan harga buat kami.’ Rasulullah bersabda, ‘ Sesungguhnya Allah-lah yang Maha Menentukan harga, Yang Maha Menggenggam dan Maha Membentangkan, lagi Maha Memberi Rezeki, dan aku mengharap ketika berjumpa dengan Allah, tiada satu pun perkara di antara kamu yang menuntutku karena suatu kedzaliman baik tentang darah atau harta.” (HR. Abu Dawud, dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah 2200)
–          Demikian pula hadits yang semisal dari jalan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang dikeluarkan oleh Abu Dawud no. 3450 dan 3451 dengan sanad shahih sebagaimana dishahihkan oleh al-Albani dalam Misykat al-Mashobih 2/153.
–          Dalam hadits-hadits di atas disebutkan bahwa yang menentukan harga hanyalah Allah, sehingga selain Allah tidak boleh menentukan harga.
–          Dalam hadits-hadits di atas disebutkan bahwa tas’ir adalah sebuah kedzaliman, dan perbuatan dzalim hukumnya haram.[5]
–          Alasan lain untuk tidak membolehkan penetuan harga adalah lantaran jual beli harus disertai suka rela antara penjual dan pembeli, apabila harga sudah ditentukan oleh pemerintah, maka hal ini membuar para pembeli tidak rela terhadap harga tersebut, sedangkan sukarela adalah syarat sahnya jual beli sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

انما البيع عن ترا ض

Jual beli itu harus disertai suka rela. (HR. Ibnu Hibban 307, Ibnu Majah 2185. Dishahihkan oleh al-Albani dalam Misykat al-Mashobih 5/125)
Pendapat kedua, mengatakan pemerintah boleh secara mutlak untuk menentukan harga barang kebutuhan masyarakat.[6]
Dalil mereka:
–          Penentuan harga dari pemerintah menimbulkan kestabilan harga pasar, apabila dilakukan dengan adil tanpa adanya kedzaliman, terutama ketika manusia telah menjadi tamak urusan dunia, dan ingin meraup keuntungan sebesar-besarnya tanpa melihat maslahat dan madhorotnya.
–          Dalam sebuah hadits diriwayatkan dari Umar bin Khoththob radhiyallahu ‘anhu:
Bahwasanya Umar berpapasan dengan Hathib di pasar membawa dua wadah bersi anggur kering, lalu Umar radhiyallahu ‘anhu bertanya harganya, Hathib menghargai setiap dua mud satu dirham. Lalu Umar berkata, “Sungguh saya telah mendapat kabar bahwa serombongan kafilah akan datang membawa anggur kering sedangkan mereka menjual dengan hargamu ini, kalau begitu engkau harus naikkan harganya, atau (kalau tidak) maka engaku harus masukkan anggur keringmu ke rumahmu dan engkau jual sesukamu!” (HR. Syafi’i dan Sa’id bin Mansur, dalam Sunan Baihaqi 2/344)
Pendapat ketiga, menentukan harga oleh pemerintah hukumnya perlu diperinci[7], jika harga barang  sedang naik dan pasar tidak stabil maka pemerintah wajib menentukan harga barang demi kemaslahatan bersama dan menghilangkan kedzaliman sebagian pedagang yang biasa menimbun barangnya[8] supaya bisa menaikkan harganya di saat orang membutuhkannya, sedangkan menentukan harga barang apabila tanpa ada sebab yang mengharuskannya hukumnya haram.
Dalil mereka:
Dalil-dalil yang dijadikan hujjah bagi pendapat ini adalah mengumpulkan antara dalil-dalil yang digunakan pihak yang melarang dengan pihak yang membolehkan.
Pendapat yang Kuat
Pendapat yang kuat dan tidak diragukan kebenarannya adalah pendapat ketiga yang mengumpulkan dalil-dalil yang ada. Pendapat itu adalah apabila harga pasar tidak stabil. Disebabkan kedzaliman sebagian pedagang, maka pemerintah berhak menentukan harga, hal ini dikuatkan dengan beberapa alasan, di antaranya:
–          Kondisi manusia yang semakin jauh dari agamanya sehingga tidak memperhatikan halal dan haram dalam usahanya, semakin tamak meraup keuntungan dunia sebesar-besarnya walaupun dengan cara dzalim. Kondisi seperti ini mengharuskan pemerintah bertindak dengan menentukan harga barang (terutama kebutuhan bahan pokok) untuk mencegah kedzaliman dan menstabilkan ekonomi masyarakat dan ini hukumnya wajib.
–          Adapun perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa hanya Allah-lah yang berhak menentukan harga, maka jawabnya: Maksud perkataan ini adalah Allah-lah Dzat yang menentukan harga secara haqiqi, karena pada hakikatnya Allah yang mentakdirkan naik dan turunnya harga. Apabila Allah berkehendak, Dia akan menurunkan barokah di muka bumi sehingga barang kebutuhan melimpah dan mudah didapatkan, dan harga akan turun. Atau apabila berkehendak lain, Allah akan menahan barokah-Nya sehingga barang-barang kebutuhan sulit didapatkan dan harga barang pun menjadi naik. Inilah hakikatnya makna “Allah yang menentukan harga”, bukan berarti tidak ada hak menentukan harga bagi pemerintah.[9]
–          Adapun perkataan bahwa tas’ir adalah suatu kedzaliman dan hukumnya haram, makajawabnya adalah; tas’ir pemerintah apabila terlalu tinggi berarti mendzalimi dan menyulitkan konsumen, dan apabila terlalu rendah berarti mendzalimi dan merugikan para pedagang, maka inilah tas’ir yang dzalim. Adapun tas’ir yang menimbulkan kemaslahatan bersama bahkan mencegah kedzaliman sebagian manusia , maka hal ini justru wajib.[10]
–          Adapun perkataan bahwa jual beli harus disertai dengan suka rela, maka benar  demikian. Tetapi apabila pemerintah menentukan harga barang dengan adil tanpa kedzaliman terhadap salah satu pihak, berarti harga yang ditentukan itu adalah harga standar di pasaran. Dan pada umumnya tidak ada keterpaksaan di antara manusia apabila membeli barang dengan harga standar dan mereka biasanya suka rela terhadap harga tersebut.
–          Adapun pendapat yang mengatakan boleh secara mutlak bagi pemerintah menentukan harga dengan dalil kisah Umar bin Khaththab bersama Hathib bin Balta’ah, maka jawabannya: Bahwa kisah tersebut ada kelanjutannya sebagaimana yang diriwayatkan oleh Sa’id bin Mansur dan Imam Syafi’i dengan lafadz berikut:
Tatkala Umar pulang, beliau memikirkan apa yang ia lakukan, kemudian mendatangi Hatib di rumahnya, lalu berkata kepadanya: “Sesungguhnya yang aku katakan tidak menjadi suatu keharusan dariku dan keputusan hukum, hanya saja aku ingin suatu kebaikan buat penduduk negeri ini, maka jual-lah di manapun engkau mau dan bagaimana pun engkau mau. (HR. Baihaqi 11277)
Kelanjutan kisah di atas menjelaskan bahwa Umar radhiyallahu ‘anhu rujuk (kembali) dari keputusannya yang telah lalu.[11]
KESIMPULAN HUKUM TAS’IR
 Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah ketika ditanya hukum tas’ir yang dilakukan pemerintah, menyimpulkan dengan menjawab[12]:
Ada dua macam hukum tas’ir yang dilakukan pemerintah:
  1. Tas’ir yang dilakukanpemerintah disebabkan adanya kedzaliman sebagian pedagang seperti menimbun barang dan semisalnya. Maka tas’ir seperti ini dibolehkan karena termasuk tugas pemerintah mengatur masyarakatnya dengan cara yang baik. Rasulullah telah bersabda (yang artinya): “Tidaklah ada orang yang menimbun barang kecuali telah berbuat salah.” Apabila seseorang berbuat salah maka harus diluruskan oleh pihak yang berwenang (pemerintah). Dari sini kita mengetahui apabila ada pedagang menimbun barang, sedangkan barang tersebut sulit didapatkan, dan manusia sangat membutuhkannya, maka wajib bagi pemerintah untuk menentukan harga barang tersebut dan mengharuskan para penimbun menjual barangnya dengan keuntungan yang tidak sampai merugikan pedagang, sehingga para konsumen dapat membelinya dengan harga yang wajar (dengan tanpa kesulitan).
  2. Apabila naiknya harga bukan disebabkan oleh kedzaliman manusia, akan tetapi semata-mata dari Allah, seperti disebabkan sedikitnya barang, atau karena sebab lain, dan naiknya harga ini tidak sampai membahayakan ekonomi masyarakat secara umum, makatidak boleh bagi pemerintah untuk menentukan harga, karena ini dilakukan bukan untuk mencegah kedzaliman manusia yang menaikkan harga.
Oleh karena itu, tatkala harga barang di Madinah naik pada zaman Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, manusia datang kepada Rasulullah, dan meminta supaya beliau menentukan harga, lalu beliau menolak, dan mengatakan bahwa Allah-lah yang menentukan harga, maka penolakan Rasulullah ini dikarenakan naiknya harga semata-mata dari Allah, bukan disebabkan oleh kedzaliman dan perbuatan sebagian manusia.
TIDAK BOLEH MENYELISIHI KETENTUAN HARGA DARI PEMERINTAH
Setelah dijelaskan di atas bahwa apabila pemerintah menentukan harga barang kebutuhan manusia, maka kita sebagai rakyat harus memenuhi kebutuhan tersebut, karena hal ini termasuk saah satu perintah Allah, sebagaimana firman-Nya:
يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِى ٱلۡأَمۡرِ مِنكُمۡ‌ۖ
Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul [Nya], dan ulil amri di antara kamu. (QS. An-Nisa [4]: 59)
Menjual barang yang telah ditentukan harganya oleh pemerintah dengan harga yang lebih mahal menyulitkan dan membahayakan para konsumen, dan menjualnya dengan harga di bawah ketentuan merugikan dan membahayakan para pedagang yang lain, padahal Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لا ضرر ولا ضرار
Tidak boleh melakukan perkara yang membahayakan diri dan  orang lain.” (HR. Ibnu Majah 2332, dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Silsilah Shahihah 250, dan Irwa al-Ghalil 3/408)
MENGAPA NABI TIDAK MENENTUKAN HARGA PADA ZAMANNYA?[13]
Rasulullah tidak pernah menentukan harga barang kebutuhan manusia di Madinah pada zamannya[14], bahkan beliau menolak ketika diminta untuk  menentukan harga pada saat itu, hal ini bukan berarti dilarang bagi pemerintah untuk menentukan harga barang kebutuhan manusia ketika dibutuhkan, akan tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukannya karena beberapa alasan, di antaranya:
–          Pada saat itu, Madinah adalah sebuah kota kecil dan penduduknya sedikit, sehingga tidak dibutuhkan penentuan harga dari pemimpinnya (Rasulullah).
–          Kebanyakan penduduk Madinah, terutama kaum laki-laki tidak menekuni perdagangan lantaran mereka disibukkan dengan jihad fi sabilillah, sehingga naiknya harga barang hanya sementara disebabkan kurangnya jumlah barang dan  akan segera normal kembali, sehingga  penentuan harga tidak ada faidahnya.
–          Penduduk Madinah saat itu kebanyakan bersifat jujur, adil, dan takut kepada Allah. Biasanya dalam jual beli, mereka bersandar kepada hasil usaha mereka sendiri seperti pertanian dan semisalnya, mereka menjual barang-barang sesuai dengan harga yang wajar dan disesuaikan dengan kebutuhan mereka saja, jauh dari kedzaliman, tamak, dan sifat tercela lainnya, tidak seperti yang dijumpai pada zaman sekarang.
–          Kehidupan masyarakat di Madinah saat itu adalah kehidupan yang mudah, sederhana dan tidak diberatkan oleh kebutuhan duniawi yang sangat banyak, berbeda dengan kehidupan mayoritas manusia sekarang.
BATAS MENGAMBIL KEUNTUNGAN BARANG YANG TIDAK DITENTUKAN HARGANYA
Adapun barang yang tidak ditentukan harganya oleh pemerintah, maka pemilik barang bebas menjual dengan harga yang wajar dan disepakati oleh pembeli, karena yang disyaratkan  hanya saling rela dan tidak terpaksa.
Syakh Ibnu Utsaimin rahimahullah pernah ditanya tentang masalah ini, beliau menjawab[15];
Tidak ada batasan (minimal atau maksimal) tentang besar keuntungan dalam jual beli, karena itu adalah rezeki dari Allah semata, kadang-kadang Allah memberikan keuntungan kepada penjual hanya sepuluh persen, atau kadang-kadang ada seorang pedagang membeli barang melonjak naik lalu dia jual dengan untung yang melimpah, atau mungkin malah sebaliknya . yang jelas tidak ada batasan untuk mengambil keuntungan. Akan tetapi apabila ada suatu barang yang tidak dapat diperoleh kecuali dari pedagang tertentu, tetapi dia menjualnya dengan keuntungan yang melimpah (dengan harga mahal), maka hal ini tidak halal baginya, karena ini semisal menjual sesuatu kepada orang lain dengan paksaan, karena apabila menusia sangat membutuhkan suautu barang dan tidak bisa didapatkan barang ini kecuali dari pedagang tertentu maka mereka membeli darinya karena terpaksa walaupun harganya sangat tinggi, dan pada saat itulah boleh bagi pemerintah menentukan harga barang tersebut dan mengharuskan pedagang untuk mengambil keuntungan yang wajar, asalkan tidak merugikan dirinya (pedagang), dan pemerintah mencegah pedagang yang mengambil keuntungan sangat banyak sehingga menyulitkan dan membahayakan ekonomi masyarakat.[16]
PEMIMPIN BERHAK MEMAKSA PEDAGANG UNTUK MENJUAL BARANGNYA APABILA ADA SEBAB YANG DIBENARKAN
Ibnul Qoyyim rahimahullah dalam Risalahnya Haqiqotut Tas’ir berkata:  “Tas’ir seperti ini tidak diperdebatkan lagi hukumnya adalah wajib, karena pada hakikatnya pemimpin hanya menghukumi mereka dengan cara adil dan mencegah mereka dari perbuatan dzalim, walaupun memang hukum asalnya tidak dibolehkan.
Sebagaimana memaksa orang lain untuk menjual barangnya tanpa ada sebab yang dibenarkan adalah haram, maka demikian juga sebaliknya, memaksa mereka apabila ada sebab yang dibolehkan hukumnya boleh atau bahkan wajib. Hal ini dibuktikan dengan beberapa permasalahan:
–          Seorang yang mempunyai tanggungan hutang dan jatuh tempo di tidak mau membayar padahal mampu membayar dan memiliki barang yang bisa dijual untuk melunasi hutangnya. Lalu  perkara ini dihadapkan ke pengadilan, maka hakim berhak memutuskan dan memaksa supaya orang yang hutang itu menjual barang miliknya untuk melunasi hutangnya walaupun orang yang hutang itu tidak rela barang miliknya dijual.
–          Seorang suami yang kikir, yang tidak mencukupi nafkah anak istrinya padahal dia mampu, lalu sang istri melapor kepada hakim, maka hakim berhak memaksa suami tersebut untuk mencukupi nafkah anak istrinya atau memaksanya untuk menjual barang miliknya untuk keperluan nafkah anak istrinya walaupun dia tidak rela barangnya dijual.
–          Seorang yang memiliki makanan lebih atau pakaian yang lebih, dan di hadapannya ada seorang yang kelaparan atau kedinginan karena tidak berbaju, maka seorang hakim berhak memaksa pemilik makanan atau pakaian tersebut untuk menjualnya  kepada orang yang sangat membutuhkannya walaupun pemiliknya tidak rela.[17]
TAS’IR PADA ZAMAN INI SEJALAN DENGAN TUJUAN DITEGAKKANNYA SYARI’AT
Tidak diragukan lagi pada zaman ini, apabila pemerintah tidak turut campur menangani harga barang kebutuhan manusia, maka harga kebutuhan pokok akan tidak stabil, dikarenakan banyaknya manusia yang dzalim dan tamak urusan dunia tanpa memperhatikan halal dan haram, di sana sini kita mendengar orang memnimbun. Maka hakekat tas’ir saat ini hanyalah mengharuskan para pedagang untuk menjual barangnya dengan harga yang wajar, dan ini termasuk keputusan yang adil dari pemerintah serta merupakan kemaslahatan bersama, sehingga dengan keputusan ini para pedagang tidak merugi, dan konsumen/masyarakat tidak merasa kesulitan mendapatkan barang yang mereka butuhkan. Dengan  ketentuan harga tersebut, berarti pedagang  tidak mendzalimi diri sendiri dan juga tidak kepada orang lain. Ini sesuai dengan tujuan ditegakkannya syari’at dan sejalan dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berkata, “Tolonglah saudaramu yang dzalim dan yang didzalimi.” Tatkala ditanya tentang menolong orang dzalim, beliau bersabda, “Menolong orang dzalim adalah mencegahnya dari kedzalimannya.”[18]
Oleh karena itu, penentuan harga kebutuhan manusia seperti beras, minyak goreng, gula, minyak tanah, bensin, solar, ongkos sarana transportasi, harga tanah, dan lain sebagainya adalah dibenarkan dalam agama kita.[19]
KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat kita simpulkan:
–          Maksud dati Tas’ir adalah hak penentuan harga barang kebutuhan manusia oleh pemimpin/pemerintah.
–          Tidak ada hak bagi pemerintah untuk menentukan harga barang kebutuhan manusia apabila tidak ada kemaslahatan di dalamnya.
–          Suatu ketika apabila terjadi ketidakstabilan harga barang, maka pemerintah wajib menentukan harga barang kebutuhan manusia dengan cara adil tanpa mendzalimi siapapun, untuk mencegah kedzaliman para penimbun, dan untuk kemaslahatan serta kestabilan ekonomi masyarakat.
–          Apabila pemerintah menentukan harga barang kebutuhan manusia demi kemaslahatan bersama, maka rakyat harus mematuhi ketentuan tersebut, karena mentaati pemerintah selama bukan kemaksiatan termasuk salah  satu perintah Allah.
–          Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menentukan harga barang kebutuhan manusia pada zamannya karena pada saat itu tidak dibutuhkan penentuan harga-harga.
–          Pada zaman yang banyak dijumpai kedzaliman manusia seperti zaman ini, suatu keharusan bagi pemerintah mencegah kedzaliman mereka, di antaranya dengan menentukan harga barang kebutuhan manusia.
–          Penentuan harga-harga kebutuhan manusia yang dimaksudkan untuk kemaslahatan bersama sesuai dengan maksud ditegakkan syari’at Islam yaitu mencegah kedzaliman. Wallahu a’lam.
diketik ulang dari Majalah AL FURQON no 81, hlm.  35-39, dan 44

[1] Pembahasan ini kami sarikan dari Hukmu at-Tas’ir wa al-Ikhtikar fil Islam oleh Syaikh al-Amin al-Haj Muhammad Ahmad, hlm. 5-49
[2] Lihat perkataan Ibnu Mandzur dalam Lisanul Arab 4/365
[3] Definisi ini dikatakan oleh Imam Syaukani dalam Nailul Authar 5/335
[4] Ini adalah pendapat jumhur ulama, di antaranya Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Muhammad bin Hasan as-Syaibani (pensyarah kitab al-Muwatho’), sebagaimana dikatakan oleh Imam Son’ani dalam Subulus Salam (lihat Hukmu at-Tas’ir wa al-Ikhtikar fil Islam oleh Syaikh al-Amin al-Haj Muhammad Ahmad, hlm. 11 dan 14)
[5] Lihat perkataan ini oleh Imam Shon’ani dalam Subulus Salam 3/25
[6] Ini adalah pendapat sebagian penduduk Madinan, Robi’ah, demikian pula dikuatkan oleh Ibnul Arabi al-Maliki (lihat Hukmu at-Tas’ir wa al-Ikhtikar fil Islam, hlm. 11 dan 14)
[7] Ini adalah pendapat para pengikut madzhab Abu Hanifah, Ibnu Abdil Bar dan salah satu riwayat dari Imam Malik (lihat Hukmu at-Tas’ir wa al-Ikhtikar fil Islam, hlm. 11, 14, dan 29). Ibnu Qoyyim al-Jauziyah dalam at-Thuruq al-Hukmiyah hlm. 285-286, dan ini dikuatkan oleh para ulama kontemporer seperti Syaikh Ibnu Utsaimin dalam Fatawa Islamiyah 2/759
[8] Adapun menimbun barang dan menjual dengan harga tinggi di saat manusia sangat membutuhkannya, maka hukumnya haram mencakup semua barang kebutuhan manusia (lihat kembali pembahasan hukum menimbun barang dalam majalah Al FURQON edisi 7 tahun ke-7 dalam rubrik Fiqih)
[9] Asal perkataan ini oleh Athiyah Muhammad Salim dalam Syarah Bulughul Maram 3/235
[10] Referensi sama dengan di atas 3/236.
[11] Hukmu at-Tas’ir wa al-Ikhtikar fil Islam hlm. 13
[12] Diringkas jawaban ini dari Fatawa Islamiyah oleh Ibnu Utsaimin 2/759.
[13] Lihat  Hukmu at-Tas’ir wa al-Ikhtikar fil Islam, hlm. 23-24
[14] Sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Qoyyim dalam at-Thuruq al-Hukmiyah hlm. 298
[15] Soal dan jawaban ini diterjemahkan secara bebas dari Fatawa Islamiyah oleh Ibnu Utsaimin 2/759
[16] Demikian pula yang dikatakan oleh SyaikhMasyhur Hasan Salman dalam Fatawanya (1/90)
[17] Dinukil secara bebas dari Hukmu at-Tas’ir wa al-Ikhtikar fil Islam, hlm. 27
[18] HR. Bukhari 2311-2312
[19] Lihat  Hukmu at-Tas’ir wa al-Ikhtikar fil Islam, hlm. 30-49
Oleh: Abu Ibrahim Muhammad Ali AM hafidzahullah

No comments:

Post a Comment